Westlife World

Westlife For Now and Forever

Westlife For Now and Forever

Rabu, 22 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 9*


#9

   Sengatan matahari siang itu bukan menjadi penyebab mengalirnya keringatku, namun aku mengalami panas-dingin mendadak karena mereka. Dua orang misterius yang memintaku menemui mereka, sekarang juga!
“Ms.Misery, wait!” tahan seseorang di belakangku. Sekejap aku mematung tanpa mengedipkan mata.
“Hari ini kita harus latihan secara full. Dua hari ke depan saya harus berangkat ke Canada untuk pertemuan guru musik se-dunia. Bagaimana?” tanyanya. Ternyata Miss Elizabeth! Huuffh, terus bagaimana dengan dua surat ini? Tik tuk tik tuk, arloji ku berdengung menyadarkan ku.
“B… baiklah, bersama Shane juga?”
“Tentu, atau mau sama Bryan?” goda Miss Elizabeth membuatku terkejut mendengarnya. Dia mengedipkan mata kepada ku untuk segera mencari Shane.

   “Maksudnya apa sama Bryan?” racau ku dalam hati. Tapi, bagaimana dengan kedua surat ini? Aku pun berbalik mengejar Ms. Elizabeth.
“Miss….. please wait!” teriakku di lorong kelas yang begitu sunyi. Dia menoleh ke arahku.
“Sorry, miss. Tapi bisakah beri waktu pada saya sekitar dua puluh menit lagi?” tanyaku memelas. Miss Elizabeth menaikkan alisnya, berpikir sebentar. Dia mengangguk sambil berkata, “Tapi jangan lupa, segera ke ruang musik!” peringat nya.
“Bersama Shane ya, jangan salah bawa orang!” tambahnya.  Aku mengangguk sambil tersenyum. Huffh syukurlah waktu ku masih ada untuk memikirkan nasib dua orang ini. God, help me please! Aku sudah sampai di ujung jalan, namun rasa resah telah muncul kembali. Aku harus ke arah kanan atau kiri? Ku lihat kaki ku menuju kiri, namun hatiku bilang ke arah kanan. C’mon, chisel…. Aku menengadah mencoba mencari ilham.
“Kanan… kiri… kanan… kiri… KANAN ATAU KIRI?????????????????????” akhirnya aku kesal dan berteriak hingga beberapa orang yang lewat melirikku aneh. Aku hanya cengar-cengir mirip orang bodoh yang tak mengerti jalan.

   “Hei, kamu kenapa, Shel?” Tanya Nicky yang lewat di depanku dengan wajah penasaran. Aku hanya menggelengkan kepala sambil jalan mondar-mandir. Baru hari ini, aku merasa bukan seperti diriku sendiri, sangat aneh!
Ada masalah? Mau aku bantuin gak? Mumpung jadwalku gak padet. Lumayan loh ditolongin sama orang ganteng!” oke Nicky mulai narsis. Sepertinya aku memang butuh bantuannya. Dengan pasrah, kuserahkan dua lembar kertas yang hampir koyak itu karena kuremas sangat kuat. Nicky mengambilnya dan membaca satu demi satu untaian kata yang tertera di situ. Terdengar kikikan Nicky sambil tersenyum. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyodorkan kedua kertas itu padaku kembali.
 “Sepertinya aku kenal dua tulisan ini.” Ujar Nicky. Nah loh! Jangan-jangan……..
“Ayo ikut aku!” Nicky menarik lenganku dengan perlahan. Dia menuju ke arah kiri sambil memberitahu ku agar menjaga suara. Jika tidak, terpaksa dia harus menempelkan isolasi hitam di mulutku! Huuueeeh!
   “Benar dugaanku, “ desis Nicky sambil merunduk di balik pohon beringin yang sudah tua. Sayangnya, hanya Nicky yang dapat melihat apa di depannya. Sedangkan aku hanya bisa melihat punggung nya karena terhalang oleh sebuah ranting yang cukup besar.
“Sebentar,” cegahnya. Huh! Gaya sok detektif-nya keluar lagi! Sudah hampir sepuluh menit Nicky mengacangiku. Baiklah, sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi! Tanpa sepengetahuan Nicky, aku melangkah ke arah yang berlawanan, entah mengapa hatiku terus berontak memaksaku berjalan ke arah kanan. Sekali lagi aku menoleh ke arah Nicky, masih dengan posisi yang sama membuatku semakin kesal melihatnya. Ketika aku sampai di taman yang berdekatan dengan lapangan bola kaki, keadaan terasa sangat sunyi.
“Akhirnya kamu datang juga, walau terlambat.” Ucap seseorang membelakangiku. Ketika dia berbalik, hanya setengah wajahnnya saja yang terlihat, sedangkan bagian hidung dan matanya tertutup sebuah topi jeans.
“Ka… kamu siapa? Ada urusan apa hingga menyuruhku menemuimu?” aku tergagap sangat ketakutan.  Namun masih tenggelam dalam kebisuan, lelaki itu duduk di sebuah kursi panjang tanpa menoleh sedikitpun ke arah ku.
“Duduklah dulu,” perintahnya. Pandangannya menyorot ke depan hingga membuatku mendelik. Sekilas kulihat senyum terukir di bibir tipisnya. SENYUMNYA! Mengapa tidak asing bagiku? Apakah dugaanku benar?

   Dia mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda berbentuk hati. Sontak aku sangat kaget! Surat itu…. surat itu sangat mirip dengan surat yang kuterima dua hari yang lalu.
“Su.. suurat itu?” gumam ku hingga membuatnya sedikit bergerak.
“Masih ingat?” tanyanya dingin. Jangan-jangan….
“Kamu benar, surat itu dari ku.” Ujarnya membuatku semakin penasaran. Aku hanya menggigit bibir.
“Lalu, kamu siapa?” tanyaku kembali hingga membuatnya tersenyum kembali.
“Baiklah, sebenarnya aku adalah ……”
 Pippp pipp! Oh sial! Sepertinya hpnya bunyi. Aku terus menatap wajahnya dengan seksama. Aku mencoba memperhatikannya, mungkin saja ada sesuatu yang bisa membuatku mengenalinya. Dia mengangkat telepon dan  menjauh dariku. Selesai menutup percakapannya tadi, tiba-tiba dia meminta maaf padaku.
“Maaf, maafkan aku. Sepertinya aku harus segera pergi, ada sesuatu yang penting yang harus kuselesaikan. Lain kali kita bertemu kembali.” Dengan terburu-buru dia melangkah. Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Di kejahuan, aku masih memperhatikannya. Tiba-tiba dia membuka topi, dan…..


   ”Hei! Dicariin ke mana aja sih? Aku kira kamu hilang, Shel!” kaget Nicky membuatku lemas. Aku hanya terkikik sambil mengajak Nicky kembali ke kelas.
“Jadi bagaimana?” tanyaku. Nicky hanya terdiam. Dia membuka mulut,
“Pergilah ke taman di sisi kiri tadi.” Serunya.
“Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, jika kamu ingin tahu, pergilah. Maaf Chisel.” Lanjutnya sambil meninggalkan ku. Tiba-tiba aku merasakan keanehan dari nya. Tidak seperti biasa, Nicky yang selalu terbuka. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Dengan agak ragu, aku berjalan menuju taman tadi. Sesampainya di sana, apa yang terjadi? Aku hampir pingsan! Tak percaya siapa yang sedang kulihat.
“Bry… Bryan?” ucapku hampir tak percaya. Bryan berbalik sambil tersenyum hangat.
Dia menyuruhku mendekat. Aku mengiyakan dengan gugup.
Ada apa?” tanyaku hati-hati.
“Kamu tahu, saat pertama kali aku melihatmu? Saat MOS dan aku marah atas keterlambatanmu. Saat itu aku ingin minta maaf dan terus terbayang wajah polosmu. Sayang, aku lupa namamu dan di mana kelasmu. Hingga waktu itu, saat aku menolongmu membawa buku ke ruangan guru dan di situlah ku tau namamu. Kamu tau apa yang kurasakan? Tiba-tiba saja aku tertarik padamu. Saat itu juga!” terang Bry. Astaga! Ya Tuhan, inikah yang namanya cinta?
“Chisela Misery, i know you are very surprised. But, before I'm late, i must admit, i love you so much. And were sent a letter that was me.” Lanjut Bryan. Aku hanya melongo, seolah aku tak mendengar apa-apa. Adakah yang bisa membangunkan ku sekarang? Tolong sadarkan aku jika ini hanya mimpi. Entah mengapa, aku… aku…. Ingin menangis. Adakah yang bisa mengartikan semua ini?
“With all my feelings, would you be my girlfriend?” ucap Bryan dengan agak tersedak. Kurasa aku adalah gadis yang mati rasa, mengapa aku tak terenyuh dengan kata-katanya? Apa Tuhan belum memberikan perasaanku padanya? Atau aku memang masih ‘ingusan’ seolah belum mengenal apa itu cinta? Ingin kugoreskan segenap perasaan pada Bry, tapi sulit. Selama ini aku mencoba untuk lebih dekat padanya namun selalu risih. Aku hanya menganggap nya sebatas teman dan kakak. Itu saja.

   “Bryan, seorang lelaki yang menjadi pujaan gadis. Semua yang kamu katakan, aku sangat menghargai. Tapi aku harus jujur, aku tidak bisa membohongi perasaan ku sendiri. Dengar Bry, entah mengapa, entah mengapa aku belum bisa menerima yang kamu ucapkan tadi. Aku masih bingung, aku belum bisa memutuskan.” Aku hampir menjatuhkan air mata tak sanggup mengucapkan kata-kata yang berarti ‘menolak’. Aku tau, dia sangat yakin dengan apa yang diucapkannya itu, namun harus kukatakan berapa kali? Aku belum mencintainya. Benar-benar kosong perasaan ku padanya. Maaf jika aku agak frontal.
“Baiklah, jika kamu belum bisa memutuskan, akan kutunggu sampai kamu siap. Oke?” Tanya Bryan dengan senyum agak terpaksa. Sejenak aku menatap mata birunya yang terang, aku mencoba mencari celah-celah rasa itu. Namun tetap tidak bisa!
“I.. iya, oh waktuku hampir habis. Aku harus segera latihan untuk festival, bye Bryan. Have a great day.” Aku meninggalkannya sembari mencoba tersenyum.
“I did not know, why my feelings have not been there for you, Bryan.” Gumamku.
***
   “Wajahmu suntuk sekali?” Tanya Shane ketika aku sampai di ruang musik.
Ada masalah?” tanyanya lagi. Aku hanya diam sambil melangkah ke arah sebuah piano kalsik yang masih sangat bagus. Shane hanya menatapku dengan aneh.
“Tidak seperti biasanya yang selalu ceria.” Gumamnya. Aku menekan-nekan tuts piano dengan sembarang hingga terdengar alunan aneh yang mengganggu pendengaran.
“Hei, jika ada masalah, bisa cerita padaku.” Tawar Shane sambil menutup telinganya. Baiklah, aku menghentikan permainan ‘gila’ ini. Shane mencoba duduk di sampingku.
Ada apa?” tanyanya kembali. Aku masih menunduk mencoba menghindar dari tatapan Shane.
“Jika terus begini, sampai kapan kita mau latihan? Mau melihat Ms.Elizabeth kecewa?” ucapnya yang berhasil menyadarkan ku. Aku menyerah, aku mulai membuka mulut pada Shane,
“Sebenarnya, tadi aku…… aku ditembak Bryan.” Ucapku. Sontak Shane terlihat kaget. Aku terengah melihatnya.
“lanjutkan,” kata Shane.
“Entah mengapa, aku sangat kaget. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku menyukainya. Aku tidak tega untuk menolak, namun aku juga tidak bisa menerimanya dengan kebohongan.” Jelas ku sejelas-jelasnya. Shane hanya diam lalu tersenyum sambil menatapku. Tiba-tiba senyumnya membuatku sedikit tenang. Entah apa artinya.                       
“Rasa cinta itu adalah karunia Tuhan. Siapa saja bebas untuk memberikan cinta untuk siapapun. Intinya kamu berhak untuk mencintai atau tidak. Jangan pernah paksa perasaan jika memang belum ada. Kurasa, Bryan akan mengerti walau dengan proses yang lama.” Nasihat Shane yang membuatku terenyuh.
“Terimakasih untuk nasihatnya ya, Shane.” Aku tersenyum padanya seperti biasa. Shane hanya mengangguk.
“Siap untuk latihan, putri?” candanya.
“Putri? Haha, ayoo pangeran!” Shane sedikit merona ketika kubilang ‘prince’ hahaha!

   Shane mengambil microphone nya, sedangkan aku sudah mengambil tempat di depan piano. Kami sudah memilih satu lagu yang cocok untuk festival nanti. Tapi, masih dirahasiakan ya. Hahaha. Mula-mula kami berdua harus mencocokkan satu sama lain, mulai dari bentuk suara Shane dan bunyi tuts piano nya. Dengan sabar Shane terus menyemangatiku walau jari sudah agak keram. Satu kali, dua kali, sampai sepuluh kali pun dan akhirnya kami bisa latihan secara lega. Jreeeenggg!! Bunyi tadi mengakhiri latihan hari ini.
Proook prookk prokk! Tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang di depan pintu masuk.
“Amazing! Saya rasa saya akan tenang ketika di Canada nanti. Kalian berdua sudah cukup mandiri hingga memulainya tanpa menunggu saya terlalu lama. Lagu yang kalian pilih sangat menyentuh hati dan saya suka. Dengan ini, saya yakin kalian akan membanggakan sekolah. Silahkan istirahat. Teruslah berlatih hingga hari H nanti.” Pesan Ms.Elizabeth sambil tersenyum lebar.
“Thanks Miss!” serentak kami berdua ucapkan. Lalu shane mengajakku ke kantin untuk membeli minuman karena dehidrasi sudah meningkat.

   “Besok latihan lagi ya?” Tanya ku. Shane hanya mengangguk sambil meneguk dua liter susu kesukaannya.
“Kamu maniak susu ya? Dua liter loh!” celetuk ku.
“Iya, hehe..” sahut Shane. Aku pamit duluan ke Shane untuk segera balik ke kelas.
***
*Dua Hari Kemudian*

   Dengan yakin, aku melangkah ke kelas Bryan. Aku mencoba menyakan pada Kian yang kebetulan sedang berada di pintu kelas.
Bryan? Oh dia sedang baca buku tuh di dalam.” Ucap Kian sambil memperhatikan ku. Aku beterimakasih padanya dan dengan perlahan menghampiri Bryan.
“Bry?” panggilku pelan. Bryan memunculkan wajahnya yang tenggelam dalam sebuah novel tebal.
“Tumben baca novel, katanya tidak suka?” Tanya ku.
“Memangnya tidak boleh? Ada apa ke sini?” Tanya Bryan mulai dingin. Aku sudah memaklumkannya karena itu wajar. Bry pasti kecewa. Aku menarik lengannya dan mengajaknya ke taman tempat tempat Bryan menembakku.
Bryan aku mau jujur, tapi kamu jangan marah ya?” ucapku. Bryan hanya mengangguk sambil menatap pohon beringin tua itu.
“Bry, aku sangat sangat menghargai perasaanmu. Demi Tuhan, aku sangat menghargai. Tapi, aku tidak mau kamu tersiksa dalam kepalsuan cinta. Maafkan aku Bry. aku sudah menganggapmu sebagai teman dan kakak. Tidak lebih. Entah mengapa, cinta itu belum tumbuh di hatiku. Maaf Bry, aku tidak mau membohongimu dan diriku sendiri.” Aku mulai menangis. Aku sangat menyesal mengatakannya tapi aku memang harus jujur padanya. Aku mencoba menatap Bryan dengan sungguh-sungguh.

   “Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Cukup jadi teman saja tak apa-apa.” Ucap Bry lemas.
“Bry, bolehkah aku memelukmu?” tanyaku mencoba menghiburnya. Tiba-tiba Bryan tersenyum dan mengangguk. Aku langsung memeluknya dengan agak payah. Bryan tinggi sih!
“Be your self, Bry. oke?” ucapku sambil melirik novel yang sedang dipegangnya. Bryan hanya tertawa sambil berkata,
“Iya iya, Chisel cantik. Aku hanya ingin mencoba kebiasaan baru untuk membaca. Bantu ya?”
“Pasti, ganteng!” sahutku. Syukurlah, terimakasih Tuhan Bryan mau mengerti. Sudah kubilang, dia pantas menjadi kakakku karena sifat pengertiannya. Hahaha, and thanks to my prince, Shane.
***

   Malam itu, tiba-tiba ada yang datang ke rumah ku.
“Dear, tolong buka pintunya ya. Mom lagi sibuk, bibi juga lagi di dapur.” Perintah mom.
“Oke mom!” sahutku. Dengan langkah ringan aku membuka pintu dan whaaaaaaaaat????
“Nicole? Ada apa?” Tanya ku. Dengan cepat dia berkata,
“Segera ganti baju dan ikut aku!”
Nah loh! Datang-datang seperti polisi saja. Dengan cepat aku menuju kamar dan pamit pada mom. Syukutlah mom mengizinkan.
“Hei, ada apa??” aku berteriak di samping Nicole di dalam mobilnya.
“Shut up, please! Diam saja, tenang, kamu tidak akan kusakiti!” ucapnya.
Ya Tuhan, semoga aku tidak kenapa-napa.
***
 Uppsss, ketauan deh Bryan suka sama Chisel, tapi sayang yahh ditolak :( Tapi, apa yang dibilang Chisel ada benarnya juga kan?? :)
Terus, itu si Nicole kenapa the tiba-tiba datang kayak hansip aja yak?? Mau dibawa kemana tuh si Chisel? Penasaran kan? Part 10 menyusuuuuul ;)
Thanks before, Bella.

Puzzle Of My Heart *Part 8*


#8 Ketika Cinta Itu Datang

*Shoot Her!*

@O’Rice Chalet Restaurant

   Di barisan meja nomor empat, duduk seorang lelaki berpakaian kemeja putih berbalut jas hitam, tampak sangat tampan walau sederhana. Di tangannya, sudah tergenggam sepucuk mawar merah dan sebatang coklat ‘Godiva’. Dia sedang menunggu seseorang dengan cukup lama sambil berharap-harap cemas. diremasnya jemari-jemari yang sudah panas dingin. Setiap menit, dilihatnya IPhone berulang kali berharap ada pesan masuk dari orang yang ditunggunya. Setelah hampir tiga puluh menit dia menunggu, datanglah seorang gadis cantik mengenakan long-dress berwarna merah tua dengan rambut indah tergurai berhiaskan pita pink di poninya. Sangat cantik, bak seorang putri.
“Hai, Mark! Maaf menunggu lama, mencari sebuah baju yang cocok sangatlah rumit dan membutuhkan waktu lebih dari dua jam!” keluhnya. Mark hanya tersenyum sambil mempersilahkan dia duduk.
“Casual pun yang kamu pakai, akan tetap terlihat cantik.” Puji Mark. “Nicole, bloss on mu ketebalan ya??” Tanya Mark yang membuat Nicole terkejut. Sebenarnya itu bukanlah bloss on yang over dosis, tapi rona merah pipi Nicole akibat pujian Mark tadi. Tak lama kemudian, beberapa menu makan malam itu sudah siap tersaji di atas meja hidangan.

   Setelah mereka berdua selesai menyantap hidangan, tiba-tiba Mark meminta Nicole untuk menutup matanya sementara. Mark menggenggam tangan Nicole dan menuntunnya ke suatu tempat tak jauh dari tempat mereka semula.
“Mark, kita di mana?” Tanya Nicole penasaran. Lalu Mark menyuruh nya untuk membuka mata perlahan-lahan. Beberapa saat, di sekelilingnya sudah berderet rapi lilin-lilin kecil yang bersinar layaknya rembulan di daratan. Sedangkan di depannya, terdapat lampu-lampu kecil yang mengantung berbentuk hati menyala terang benderang. Tiba-tiba, bunyi tuts piano mengalun indah memecah kesunyian malam.
“Mark??” panggil Nicole mencari-cari Mark. Dan dari arah belakang, terdengar suara lelaki menyanyi yang diiringi piano tadi. Nicole berbalik arah, mencari asal suara yang didengarnya sangat sangat indah!

“…. I'm ready to begin this journey
Well, I'm with you with every step you take
And we've got a whole lifetime to share
And I'll always be there, darling, this I swear

So please believe me for these words I say are true
And don't deny me a lifetime loving you
If you ask, will I be true' Do I give my all to you'
Then I will say I do

So come on, just take my hand
Oh, come on, let's make a stand for our love
But I know this is so hard I believe, so please

So please believe me for these words I say are true
And don't deny me a lifetime loving you
And if you ask, will I be true' And do I give my all to you'
If you ask, if I'll be true' Do I give my all to you'
Then I will say I do…”

Entah apa yang kini ia rasakan. Di hadapannya, Mark dengan memegang sebatang mawar merah dan sebatang coklat kesukaannya berlutut santun padanya sambil tersenyum sangat manis.
“Nicole, sorry if I was overreacting. however, this is all I try for you. probably the first time, you and I never knew each other. but guess it suddenly came to me. with all the confidence and support of friends, will you be my girlfriend?” Nicole terhenyak sesaat mendengar itu. Sepertinya dia belum siap untuk menerima pernyataan Mark. Entah cinta nya pada Mark belum terbumbui atau rasa cinta pada orang lain mengalahkan segalanya. Dia takut untuk menolak, namun dia juga tidak bisa membohongi persaan dirinya sendiri. Mark, lelaki yang baru beberapa bulan dikenalnya tanpa sadar telah jatuh cinta padanya.
Dia bingung harus menjawab apa, dia juga tidak tega harus melukai hati seorang lelaki yang mungkin disia-siakannya, karena Mark adalah idaman para wanita.

   ‘Emm, Mark?” panggil Nicole hingga membuat Mark sedikit cemas. Mark takut, cintanya tertolak untuk yang kedua kalinya selain pada Calmond.
“Bangunlah,” pinta Nicole. Dia menarik tangan Mark dan mengajaknya duduk di sebuah kursi panjang berhiaskan rangkaian mawar putih berseri.
“Maaf, sekali, sebelumnya aku sangat terkejut atas apa yang terjadi dan yang kamu ucapkan tadi.” Ucap Nicole hingga membuat Mark menundukkan kepalanya dan menenggelamkan wajahnya dari hadapan Nicole.
“Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini. Tapi ku mohon, apapun jawabannya nanti, menurutku itu yang terbaik. Percayalah…” lanjut Nicole dengan sangat hati-hati. Saat itu hanya terdengar dengkrikan jangkrik dan terangnya lampu hias yang menemani mereka berdua. Mark tiba-tiba terdiam dalam kebisuan hatinya. Dia berusaha menguatkan diri agar tetap terlihat gentleman.
“Baiklah, terimakasih untuk malam ini. Kamu bersedia datang dan menemaniku makan malam.” Ucap Mark sangat lirih. Nicole menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum semanis mungkin.
“Hampir larut malam, aku harus segera pulang.” Beritahu Nicole pada Mark sambil melirik arloji di tangannya. “Mau kuantar?” tawar Mark.
“Tidak perlu. Supirku sudah menunggu di depan bersama mobil nya. Hope you’ll be okay. Good night Mark!” sahut Nicole. Dengan perlahan, dia meninggalkan Mark di tengah-tengah dinginnya malam yang semakin larut, sama larutnya dengan hati Mark saat itu.

   “Elo masih punya harapan, Mark. Nicole kan belum menjawab, artinya mungkin saja dia mengiyakan nantinya. Don’t be sad, bro! Kita masih ada buat bantuin lo.” Hibur Nicky sambil meletakkan tangannya di bahu Mark.
“Yoi, Mark! Gue, Nicky dan Shane bakal siap buat bantuin elo nyari gebetan yang lain seandainya ditolak sama Nicole.” Timpal Bryan. Sayangnya, saat itu Shane tidak bisa hadir bersama mereka. Sepertinya ada keperluan lain. Kemudian Mark bertanya pada Bry soal hubungannya pada Shane akhir-akhir ini yang membuat Bryan agak gusar untuk menjawabnya.
“Gue dan Shane baik-baik aja. Cuma sedikit komunikasi aja. Dia juga sibuk begitupun gue.” Jelas Bryan,
“Gue harap, elo dan Shane akur lagi seperti dulu. Gue enggak mau di antara kita saling jaga jarak.” Harap Mark.
***

   Tuk.. tuk.,. tuk.. Suara hentakan pensil milikku membahan seisi kelas yang mulai kosong dari penghuninya. Perasaan jenuh dan bosan menghampiriku. Harusnya sekarang adalah waktunya makan siang. Tetapi tiba-tiba perutku menolak untuk diisi. Sreeeettt!!!! Sebuah pesawat kertas melintas melewati jendela tak jauh dari tempatku duduk dan mendarat dengan sukse di mejaku. Iseng-iseng kubuka isi kertas itu. Ternyata ada beberapa baris tulisan yang ditujukan pada………. AKU!

Isi suratnya Ă Sorry if I disturb you. But only for some time. Do you still remember the letter in the drawer of your desk some time ago? Actually I was a fan of your secrets. Someday, I'll know who I am. if it is very timely. I hope you still want to wait for. I love you”

Ya Tuhan, apalagi sih ini? Aku memang sedikit penasaran. Dalam surat ini dikatakan bahwa si pengirim adalah penggemar rahasiaku. Grrrrr….. sudahlah, mending kusimpan saja surat ini. Siapa tau penting untuk tugas menulis surat cinta(?)

   Tiba-tiba kepala seseorang muncul di depan kelas tanpa diundang. Aaaapa jangan-jangan hantuuu?? Ohhh nooo!!
“Doooorrr!!” teriaknya sehingga akupun teriak sedemikian kencangnya membuat beberapa teman berdatangan untuk melihat apa yang terjadi. Taukah kalian, aku sangat malu menjadi bahan tontonan sekarang! Ternyata ini semua ulahnya Bryan! Aaah, apa sih maunya dia?? Setiap hari mungkin bagi dia sangat hampa jika tidak menganggu orang lain termasuk aku!
“Bryyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!” kesal ku meledak tumpah tanpa bisa di kontrol lagi. Dia hanya cengar-cengir seolah tidak bersalah, sedikitpun! Heeh!
“Sorry sorry, habisnya sendirian aja sih? Serius amat baca apaan tuh?” Tanya Bry. cepat-cepat kumasukkan surat tadi sehingga membuat Bry penasaran.
“Cie cieee, surat dari sopooo??” godanya. “Mau tau aja!” jawabku, judes.
“Emm, eh Bry, kamu tadi ngeliat Shane gak?” tanyaku. Bryan tiba-tiba berdengit melihatku.
“Shane? Tumben nanyain dia? Gue gak tau. Mungkin di perpustakaan sekolah. Cari aja.” Jawabnya tak acuh. Ih, si Bryan kalau ditanya gak pernah serius!
“Yaudah deh, aku mau ke perpus aja, sekalian pinjam buku dann…”
“Dan apa???????” Tanya Bryan, penasaran. “Ketemu Shane! Mau ikut?” tawarku.
“Enggah deh. Hati-hati ya di jalan, nanti tersandung pula.” Ucapnya sambil cekikikan. Ceritanya dia doain aku jatuh di jalan gitu?? Ggrrrrrrr!
“Huh, aku pergi dulu ya. Bye bye, Bryan cubby.” Ledekku. Senyum Bryan sirna secara perlahan-lahan. Entah kenapa.
“Yahh, padahal gue mau ngajak lo lunch, Shel. Tapi malah milih nyamperin si Shane.” Keluhnya dalam hati. Dia berjalan lunglai ke luar kelas hampir menabrak tembok kelas yang disangkanya pintu keluar.

@Perpustakaan

   Celingak-celinguk, kiri kanan kulihat saja, banyak buku berjajar aarrr… Hehehe! Aku mencoba mencari Shane di lorong ke tiga. Mungkin saja dia sedang menghapal rumus matematika, pelajaran kesukaannya! Aku berjalan perlahan. Memperhatikan sekeliling. Siapa tau aja ketemu Shane di jalan.
“Shaaannnee!!” panggilku sehingga membuat seorang petugas di situ hampir marah padaku. Shane melihat ke arah ku dan tersenyum. Hiyaaaa!!! Senyum yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Aku segera menanyakan padanya tentang festival minggu depan.
“O iya, bagaiman pertemuan dengan Ms.Elizabeth? sudah?” dia balik bertanya. Aku mengangguk pertanda sudah.
“Ms.Elizabeth memintaku untuk bermain piano sekaligus menyanyi bersama mu. Dan berkat nasihatmu, dengan mantap kuiyakan permintaannya.” Ucapku senang. Shane juga terlihat sangat gembira mendengarnya.
“Kamu pasti pemain piano yang sangat handal. Seperti dad mu.” Celetuk Shane tiba-tiba. Apa?? Seperti dad? Shane kenal dengan dad? Bagaimana dia tau dad bisa bermain piano?
“Sudah jangan dipikirkan. Makan siang dulu yuk? Setelah itu baru kita bicarakan rencana selanjutnya.” Ajak Shane sambil menarik tanganku. Kebetulan saja perutku tiba-tiba bunyi. Hahaha… aneh! Saat di kantin, aku bertemu Mark, Nicky dan juga Bryan.
“Waah, mau makan siang berdua yaa?? Boleh ganggu gak?” goda Mark.
“Udah Mark jangan ditanya lagi. Shane kan baik hati, jadi kita pasti dibolehin dong. Wkwkwkwkw!” sergah Nicky. Namun Bryan hanya diam bagai patung yang hiportemia di siang bolong. Nicky mendorong Bryan hingga dia terkejut dan membalas dorongan Nicky. Wajahnya hanya murung saja. Ckcckck!
“Tuh kan, gue keduluan lagi sama Shane! Mending minder aja ah!” kesal Bry dalam hati. Dia memisahkan diri ke meja lain. Sedangkan aku makan bersama Shane, Nicky dan Mark.
***

* Tiga Hari Kemudian *

   Seperti biasa, aku hanya menghabiskan waktu makan siang di kelas dengan beberapa teman. Dan pesawat kertas beberapa hari lalu kembali datang ke meja ku. Dengan segera kubuka lipatan kertas dan membaca isinya,
Hi Chisel, I hope I'm not busy. Meet me at the school  park near the school football field.”
Whaaat?? Apaan lagi nih?? Ketika aku beranjak pergi dari tempat duduk, sebuah pesawat kertas kedua datang ke mejaku. Ckckcck! Aku ingin segera pergi, namun rasa penasaranku mengalahkan keinginanku tadi.
 “Kamu tidak perlu tahu siapa aku. aku mohon temui aku di taman sekolah dekat lapangan basket.

   Tuhaaan!! Apa yang terjadi dua orang misterius memintaku untuk menemuinya di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama! Wujudku hanya satu sedangkan yang harus kutemui dua! Aku dilanda kebingungan. Entah yang mana harus ku pilih. Dan tempatnya pun berseberangan. Aku pun berjalan seperti orang linglung, sambil menggigit jari dengan perasaan cemas. Aku harus pilih ke mana?

***
 Naah, di awal cerita part 8 ini, kisah romantisme nya Nicole sangat indah bukan? *ditimpuk team feehily*
Berbeda jauh dengan Nicole, si Chisel malah mendaptkan surat yang sangat misterius dari dua orang tak dikenalnya. Dan kebingungan mulai melandanya ketika orang itu memintanya menemui dengan waktu yang sama dan tempat yang berbeda! Yang mana kah yang akan dipilh Chisel??

Penasarankan?? Ikutin terus ya ceritanya! Part 8 menyusuuul, babaay! ;)

Thanks before, Bella. 

Rabu, 08 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 7*


#7

   Ketika aku dan Shane berjalan beriringan menuju ruang Ms.Elizabeth, tiba-tiba seseorang melompat menghadang seperti ninja Hatori kesasar.
“Eittsss!! Mau ke mana? berduaan ni yeee..” godanya. Ternyata Nicky! Aahh, Nicky, kau membuat pipiku berhasil merah merona! Aku dan Shane hanya cekikikan melihat kelakuan Nicky.
“Nick, kamu tau gak perbedaan kamu sama topeng monyet?” Tanya Shane memulai jurus gombalannya yang menjebak. Hehehe… Nicky memutar bola matanya dan menggelengkan kepala pertanda tidak tau. “Yang pasti mah, gue ganteng gila! Jauh cucok dari si monyet nya! :p” ucap Nicky dalam hati. Shane tersenyum misterius sambil berkata, “ENGGAK ADA BEDANYA! Udah awas, kita berdua mau lewat. Mending gue gombal ama Chisel dari pada sama lu.” Tidak kusangka sebelumnya Shane akan berbicara seperti itu sehingga berhasil membuat Nicky memanyunkan bibirnya sambil menopang dagu. HAHAHA!!!!! Kocaak!! Kalau enggak ingat ada mereka nih, pasti aku sudah jungkir balik di tempat! Ternyata Nicky terlihat sangat imut jika sedang ngambek. Shane menraik lembut lenganku seolah bukan dia namun genggaman mom.

 @Elizabeth Room

   Kuperhatikan seluruh bagian ruangan ini. Ruangan yang nyaman berwarna ungu muda dengan suasana ala Eropa. Di sisi kiri, terpajang beberapa foto. Salah satunya, tergantung foto seorang gadis muda yang kurasa itu adalah Ms.Elizabeth waktu remaja. Di sisi seberang, berbaris beberapa mini cupboard dengan sangat rapi. Namun dari segala isi ruangan yang ada, sebuah benda yang terletak paling sudut sisi ruangan berhasil menyita perhatianku sejenak. Benda berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Di sampingnya, terdapat lembaran-lembaran not lagu yang kurasa ‘not easy!’
 
   “Ehm..” seorang wanita jangkung mengenakan blazer ungu tua berjalan perlahan menuju kursi ruangan.
“Itu Ms.Elizabeth.” bisik Shane. Ternyata foto seorang gadis yang kulihat tadi berbeda dengan wanita itu. Tetapi, jika diperhatikan lebih dalam, ada sebuah kemiripan di antara mereka berdua. Ya! Senyumnya! Wanita itu tiba-tiba saja tersenyum sambil mempersilahkan kami untuk duduk di sofa berwarna hijau toska.
“Are you Chisela Misery?” tanyanya memecah keheningan suasana yang sedikit dibisingkan suara seekor kucing Persia yang mungkin miliknya.
“Yes, miss.” Aku sedikit tergagap. Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Entah apa yang membuatnya senang sekali tersenyum.
“Baiklah, sebelumnya perkenalkan, nama saya Elizabeth Fawn Grumble. Saya seorang guru musik kamu nanti jika sudah menapaki grade XII.” Ucap wanita itu. Oooh, jadi benar dia yang bernama Elizabeth. Dinginnya ruangan ditambah turunnya rintikan hujan membuatku menggigil sehingga Shane memberikan sweaternya padaku.
“Err, tidak perlu.” Tolakku mendelik.
“Atau yang tebal?”
Baiklah, aku kalah. Akhirnya aku mengambil sweater dan memakainya walau sedikit terpaksa. Ah, beruntung sweaternya ini tidak terlalu besar untukku. Hanya sedikit gombreng pada bagian lengannya.

   “Minggu depan, sekolah kita mengadakan festival seni antar SMA. Sebagai guru musik, festival kali ini saya ingin menambahkan beberapa penampilan yang berbeda dari biasanya. Saya memanggil kalian berdua berharap kalian bisa berkolaborasi suara ataupun musik. Saya harap, Ms.Misery dapat memanfaatkan kemampuannya dalam acara ini.”
Seperti mendengar dentuman meriam di kutub utara, dengan refleks aku berteriak,
“Dengan benda yang di sudut sana?” tunjukku mengarah benda di sudut ruangan. Shane dan Ms. Elizabeth hanya tertawa kecil seolah aku sedang melihat seorang bayi yang memanjat tebing. Ms.Elizabeth mengangguk kecil. Looh, dari mana dia tau aku bisa bermain piano? Sedangkan aku tak pernah mengenalnya. Yang parahnya, mungkin permainanku macet-macet gara-gara aku jarang mengikuti les piano kembali. Kesibukan di sekolah berhasil mengalahkan hampir semua aktivitas ku sehari-hari. Sampai-sampai aku harus menahan keinginanku untuk menutup telinga ketika omelan mom menghujam atas kurangnya aku dalam membagi waktu, bahkan untuk keluarga sekalipun.
“Baik, kalian berdua silahkan kembali ke kelas. dan ingat Ms. Misery, besok sebelum pelajaran dimulai, temui saya di ruangan ini.” Aku mengangguk menyanggupi permintaan Ms. Elizabeth.
***

   “Apa aku bermimpi? Ini festival sedangkan aku masih anak ingusan!” lirihku. Aku masih tak yakin, sepetinya Ms. Elizabeth salah memilih pasangan untuk Shane.
“Jika kamu yakin, pasti bisa.” Ucap Shane memberiku motivasi. Aku berpikir mencoba mencerna dalam-dalam apa yang diucapkan Shane barusan. Aku mengggelengkan kepala, dan aku sadar aku sangat pesimis. Shane menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan secara perlahan.
“Look at me, please! Kamu tidak tampil sendirian. But, with me. And i sure, everything will be okay.” Entah mengapa seakan-akan mata Hazel Green-nya menusuk kecemasanku, meyakinkan keraguanku, membangkitkan kepercayaan diriku yang perlahan-lahan menghilang.
“Kurasa, kamu benar. Baiklah, aku akan berusaha semaksimal munkin. Lalu, apa rencana kita selanjutnya?” tanyaku sambil mengeluarkan dua bungkus permen gula. Au memberikan satunya pada Shane.
“Kita tunggu instruksi dari Ms.Elizabeth dulu. Aku tidak mau gegabah mengambil rencana. O iya, masih ingat jalan untuk kembali ke kelas?” goda Shane sambil membuka bungkus permen gula yang kuberi padanya tadi. Haish! Dia kira aku seumuran apa sama nenek dip anti jompo itu??! aku mengangguk meyakinkannya.
“Tentu saja, baiklah aku duluan ke kelas ya. Bye.” Aku berbelok kea rah kanan koridor kelas. Terakhir kuperhatikan Shane belum beranjak dari tempatnya berdiri seolah memastikan aku tidak tersasar.

   Saat aku sedang melewati taman, seorang gadis berbalut syal pink tua duduk sendirian. Aku ingin menyapanya, namun nuraniku menolak.
“Emm, hi, are you fine?” sapaku memastikan keadaanya. Dia menoleh, sementara aku kaget tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Nicole. Tampak matanya sembab, kantung matanya membengkak menghitam, dan tisu sudah bececeran di lantai.
“Nicole, apa yang terjadi?” segera kuambil sapu tangan milikku di dalam kantung seragamku. Syukurlah, dia tidak lagi menangis. Namun sesekali sesegukannya masih terdengar.
“Nicole, dengarlah, walaupun kamu menganggapku tidak acuh, namun aku masih tetap ada untuk mendengar keluh kesahmu. Di manapun dan kapanpun. Aku selalu siap.” Jelasku, semoga apa yang kukatakan barusan dapat memperbaiki keadaan secara perlahan. Nicole menghadapkan wajahnya ke arahku. Namun hanya untuk mengembalikan sapu tangan yang kupinjamkan untuknya. Lalu, dia pergi begitu saja. Kurasa, dia perlu waktu untuk sendiri, merenungi masalah yang hanya salah paham saja. Tuhan, ku harap pertolonganmu segera datang. Aku segera kembali ke kelas sebelum terlambat masuk pelajaran Mr. Patrick. Semoga Nicole sudah berada di kelas.
***

   @Break Time

   Kulihat Mark, Nicky, Bryan dan Shane sedang berkumpul bersama di perpustakaan. Seperti yang kuduga, yang serius untuk membaca hanya Shane dan Mark saja. Sementara Nicky dan Bryan asyik menggossip dengan cara yang aneh! Berbisik! Strange men!
“Mark!” panggilku sepelan mungkin sehingga tidak membuat petugas marah. Mark yang sedang tenggelam dalam buku biologinya mengangkat setengah wajahnya yang tertutup buku. Kuhampiri Mark yang sedang membaca sambil berdiri tak jauh dari posisi Shane berada.
“Mark, kamu harus tau hal ini. Emm, tadi aku melihat Nicole menangis di taman sekolah. Aku sudah berusaha menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun Nicole masih bersikap dingin. Tolonglah, dan kurasa ini kesempatan terbaikmu untuk mendekatinya. Cobalah ke kelas nya, temui dia. Sebelum itu, kamu harus membawa coklat kesukaannya. Seingatku dia suka banget sama coklat ‘Godiva’ yang waktu itu dibeli pamannya di Belgia.” Jelasku sejelas-jelas mungkin. Mark hanya diam sambil berpikir. Sudah kuduga pasti dia akan mengatakan sesuatu, “Beliin coklatnya mah aku sanggup, cuma di mana??”
Iya juga sih ya, Belgia mah kejauhan belinya! Sedangkan kita di London.


   “I know where we can buy that chocolate!” tiba-tiba Bryan menyeletuk. Ya ampun! Ternyata Bryan dan Nicky dari tadi nguping pembicaraan kami! Mark mengangangkat alisnya. Setelah Bry menjelaskan di mana kami bisa mendapatkan coklat itu, kami sepakat untuk pergi bersam-sama. Hari ini juga! Demi Nicole!
***
*Esok hari*

   Sebelum Nicole datang, aku memastikan coklat itu sudah ada di laci nya. Oh Mark, you’re so sweet! Hahaha…. Pakai surat-suratan segala lagi! Tapi , it’s no problem! Hitung-hitung Pedekate, wkwkwkw.

   “Bagaimana? Berhasil? Atau malah dikacangin?” aku terburu-buru mencoba menimbangi jalannya Mark yang sangat cepat. Tiba-tiba dia berhenti lalu menghadap wajahku yang tingginya hanya sebahu Mark.
“Thanks, Chisel! Atas bantuanmu, aku bisa mengajaknya dinner malam ini! Dia meman butuh teman, mungkin selain kamu. Maaf, bukan maksud menyinggung. Masalahnya sekarang, dia masih bingung untuk meminta maaf padamu. Tapi belum ada waktu yang tepat.” Mark mencoba mengatur napasnya karena sangat gembira nya. Baiklah, aku juga senang mendengarnya. Jadi tidak usah repot-repot untuk mendekatkan Mark pada Nicole.

   “Beruntung sekali Nicole bisa diajak dinner sama cowok ganteng. Mancung lagi!” ocehku sendirian berjalan menuju gerbang sekolah. Dari belakang seseorang mengejutkanku sehingga aku hampir terjatuh ke arah depan.
“Pulang bareng yuuk??” tawarnya, yang tak lain dan tak bukan adalah Bryan. Saat ini Bry kuanggap sebagai sahabat keduaku selain Nicole. Dia juga kuanggap sebagai kakak angkatku. Sikapnya yang humoris kadang membuat hariku menjadi jauh dari rasa jenuh. “Baiklah, tapi gratis kan?” candaku sehingga membuatnya terpingkal-pingkal.
“Apa sih yang enggak buat tuan putri?” gombalnya membuatku ingin muntah. Jujur ya, sebenarnya aku tidak suka digombalin apalgi dirayu-rayu paksa! Hahaha!! Dia menyuruhku menunggu sebentar karena harus mengeluarkan mobilnya dahulu. Ketika aku hendak duduk di halte bus, seorang cowok menhampiriku dengan senyumnya yang, ah, sangat manis!
“Emm, pulang bareng yuk?” ajaknya. Aduhh, kenapa sih selalu saja di saat yang tidak sangat tepat?
“Maaf ya Shane, bukannya aku menolak tapi aku sudah mengiyakan ajakan Bryan lebih awal.” Entah mengapa aku sangat tidak enak hati pada Shane. Seandainya Shane lebih dulu dari Bry… Tiin tiiin!! Bunyi klakson dan deru mobil Bry terdengar menyuruhku segra masuk ke mobil. Aku segera pamit pada Shane sambil meminta maaf untuk yang kesekian kalinya. Ketika aku melihat Shane di balik kaca jendela mobil, dia segera bergegas pergi dengan wajah sedikit kecewa.
***

Wah wah wah!! Banyak banget konflik nya ya?? Mulai dari Nicole sampai Chisel pun ada. Tapi itu si Nicole enak banget ya diajak dinner sama Mark :3 itu si Shane kenapa lagi masang wajah murung ketika Chisel tidak bisa menerima ajakkanya dengan alasan yang jelas?? Bingung kan?? Ikutin terus ya ceritanya, part 8 menyusuuul, babay!! ;)

Thanks before, Bella. 

Senin, 06 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 6*

#6 Sepucuk Surat Cinta
  
   Tak berbeda dari hari kemarin, aku kembali berjalan menuju kelas seorang diri. Tak seperti biasanya pula selalu ditemani Nicole dengan sambutan senyumnya yang hangat. Sangat tak nyaman jika aku harus menjauh darinya untuk sesaat atau selamanya. Berapa menit ketika aku hendak meletakkan tas, tampak sekelebat bayangan seseorang (bukan hantu ya!) dengan cepat keluar kelas. Whaat?? Who is?? Aku mulai berpikiran macam-macam. Oh, c’mon Chisel!!! Everything is okay! Aku mulai menenangkan diri yang sedikit parno melihat hal tadi. Kebetulan lampu kelas dalam keadaan redup, jadi penglihatanku sedikit terganggu. Ketika aku sedang meletakkan kamus bahasa inggris di laci meja, tiba-tiba tanganku mendapatkan sesuatu yang aneh. Jangan-jangan ada cecurut ngumpet lagi?!! *trauma*. Namun ternyata, aku mendapatkan secarik amplop berwarna merah muda berbentuk hati. *ehem eheem.
“For me??” gumamku. Aku mencoba melihat isi amplop itu, sayangnya seorang cowok memanggilku untuk keluar kelas. Tanpa sadar, aku meninggalkan surat itu dengan sembarang.

   “Bryan? Ada apa? Tumben pagi-pagi ke sini?” ternyata Bry dengan wajah cemas menghampiriku tanpa alasan. Dia menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya entah ke mana. dengan tak terduga, dari sisi kiri, Nicole baru datang bersama seorang temannya. Dia melihatku bersama Bryan dan tiba-tiba wajahnya sangat masam. Aku hanya bisa diam melihatnya bersikap seperti itu.

@Neoclassical Park

   “Bry, ada apa sih? Lepaskan dulu tanganku!” lalu Bry melepaskan genggamannya dan menghadapkan wajahnya padaku.
“Gue ke sini cuma mau nanya sesuatu sama lo. Gue harap elo jawab jujur sama gue. Janji?” Bry mengulurkan kelingkingnya pertanda aku harus menepatkan ucapannya tadi.
Tapi, aku hanya diam. Jujur saja, aku masih tak mengerti apa yang dimaksud Bryan.
“Baiklah…”  aku menyambut kelingkingnya dengan senyum kecut. Kicauan burung merpati pagi itu seolah menjadi penghiburku kali ini. Entah mengapa aku menjadi tak semangat, diriku sendiri bingung apa yang tengah terjadi.
“Shel, kemarin kenapa lo nangis? Jujur ya. Kalau lo mau cerita sama gue, gue selalu siap. Tapi, kalau enggak juga gak apa-apa.” Bryan bertanya dengan sikap yang kuyu tidak seperti biasanya. Nangis?? Ternyata dia masih ingat kejadian kemarin. Padahal aku mencoba untuk melupakan hal itu. Dengan sabar, Bryan masih menunggu jawaban dariku.
“Eerr, enggak kenapa-kenapa kok. Udah deh, lupain aja.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun Bry masih diam seolah tetap pada pendiriannya.
“Gue gak yakin, Shel. Kenapa sikap lo sama gue akhir-akhir ini beda? Gak seperti biasanya.” Aku menarik napas panjang lalu menghela, “Oke Bry, tapi gue mohon kamu jangan marah ya. Sebenarnya, kemarin Nicole marah sama aku gara-gara lupain janjinya yang bentrok dengan janji aku sama mu. Karena sudah terlanjur ikut kamu, aku terpaksa ninggalin Nicole. Dan sampai saat ini Nicole masih bersikap tak acuh padaku.” Aku mencoba menahan desakan air mata dan sesaknya napas di dada.
   “That’s means, I was wrong! Chisel, kalau elo bilang dari pertama gue juga gak bakal maksa.” Terlihat Bryan sangat menyesal. Begitupun denganku. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, dan waktu takkan bisa berputar kembali.
“Chisel, maafin gue. Gue janji gue bakal bantuin elo buat baikan sama Nicole.” Sekali lagi Bry memelas memohon padaku. Sebenarnya sangat tidak tega melihat dia seperti itu, namun emosi masih menguasai pikiranku, dan keadaanku semakin tidak stabil.
***
   Aku kembali teringat dengan sepucuk surat yang kutemukan tadi pagi. Namun, aku tidak menemukan surat itu kembali. Mana kelas lagi rame! Tak terduga, seseorang berdiri dihadapanku sambil memegang sesuatu yang sepertinya kukenal. IT’S MY LETTER! Aku terkejut, Nicole! Sekarang surat itu ada di tangannya. Ya ampun, kenapa aku bisa teledor sih! Surat itu sepertinya privacy dan aku ceroboh meletakkannya dengan sembarang.
“Chisela Misery! Maaf ya, aku sudah baca duluan. Sebenarnya aku tak tau untuk siapa surat ini, so aku enggak salah kan?? Dan ternyata untuk mu. Ternyata sudah kuduga lebih dahulu, pasti kamu ada hubungan dengan dia!”  Nicole melempar suratnya ke wajahku. Tidak kusangka-sangka, sebegitukah Nicole menyikapi masalah ini? Rasanya aku ingin bertukar kehidupan dengan Koa yang masih kecil dan tak mempunyai masalah. Namun mustahil rasanya. “Maksud mu apa??” aku balik bertanya. Nicole hanya tertawa hambar dan menjamkan tatapannya padaku.
“Baca aja sendiri! Atau perlu aku bacain di depan mereka semua????!!” terlihat Nicole mengancam sehingga membuatku bermohon padanya untuk tidak senekat itu. “Palingan dari cowok kamu itu, BRYAN MCFADDEN!” timpal Nicole sebelum dia mengehentakkan kursinya lalu berjalan ke luar kelas. semua mata di kelas tertuju padaku. Aku hanya menundukkan kepala lau berjalan loyo menuju toilet.

   Gedebuukdunggcesstingg!!! Yess, akhirnya aku kembali jatuh mirip orang idiot! *depresi* “Loh, Chisela kan?” Tanya seseorang di depanku bersama satu orang teman di sampingnya. “Loh, Mark, Nicky. Kalian ngapain ke sini?” aku balik bertanya. Mereka berdua saling bertatap wajah dan tersenyum tipis.
“Gue malah mau ketemu sama lo. Beruntung udah ketemu duluan. Lagian, gue juga lupa di mana kelas lo.” Jawab Mark. Aku yang tadinya mau ke toilet jadi nge-gossip sama dua cowok ganteng ini *eh. “Emang ada apa?” tanyaku. Mark tampak malu-malu dan mengisyaratkan Nicky untuk menjelaskan semuanya.
“Emm, begini, Shel. Mark ini mau minta tolong sesuatu sama kamu. Dia lagi falling in love sama sahabatmu itu, si Nicole. And finally, Mark dengan mantap pengen nembak si Nicole.” Aku hanya melongo mendengar apa yang diucapkan Nicky barusan. Seolah tidak percaya, aku menggoyang-goyagkan telingaku agar tidak salah dengar.
“SERIUS? MARK MAU NEMBAK NICOLE?” teriakku yang membuat siswa-siswa yang melintas kecewa mendengarnya. Maybe, mereka suka juga kali sama Mark dan patah hati mendengar itu. Nicky dan Mark menarik tanganku. Mau dibawa ke mana lagi??!!!

   “Chisell yang cantik, baik hati, dan rajin menabung. Bantuin gue ya ya. Ntar gue beliin coklat deh, ya ya yaaa, please, ayo dong Shel jawab. Ya ya ya??? Ya ya??” Mark menyerocos sedemikian sehingga aku dan Nicky melongo.
“Gimana aku mau jawab, kamunya nobros sampai nabrak tembok gitu! Maaf Mark bukannya aku tidak mau, tapi…. Aku dan Nicole sedang ada masalah, so, it’s impossible.” Aku merasa tidak enak pada Mark. Padahal sepertinya dia sudah sangat berharap, tapi mau gimana lagi? Sedangkan Nicole judesnya tingkat dewa!
“Masalah? Benarkah? Padahal kurasa kalian tidak pernah ada masalah. Baiklah, aku tidak memaksa sekarang, artinya, kalau kalian sudah baikan, kamu harus menolong aku.” Gumam Mark. Setelah itu, Mark dan Nicky pamit pergi lebih dulu. Berhubung, di sini sepi, aku segera membuka surat tadi dengan jantung dag dig dug dan hati yang cenat-cenut.

   Isi suratnya kira-kira seperti ini,
Ehm, hi, how are you chisel?

first sorry, if I'm wrong to give this letter to you. but, there is a very important thing I shall bring again before it's too late. since first I saw and know yourself, suddenly I feel my life is different. but for some reason, when I want to be close to you all that it seems impossible. I'm afraid, you feel different to me with what I feel at this time. but, honestly, I LOVE YOU. the millions who can not reveal the reason why these feelings can occur. sorry, if I did not communicate directly. once again, I love you and you do not need to know who I am because soon you will know slowly.

From: Mr.xxxxx

Whatt???? Siapapun tolong bangunkan aku sehingga aku tidak menghayal terlalu tinggi! Apa ini sekedar mimpi?? Tiba-tiba aku teringat apa yang dibilang Nicole di kelas. apa benar ini dari Bryan? Ah, aku bingung! Nama pengirimnya pakai kode lagi seperti di filem-filem! Huuh, cobaan apa lagi sih yang harus kuhadapi? Tuhan, berikan pertolonganmu sekarang, I need a miracle!
***
   Sekilas kulihat Nicole baru saja keluar dari ruang guru. Dengan terburu-buru aku mencoba memanggilnya, “Nicoooolllee!!” Dia menoleh sebentar, namun beberapa saat kemudian dengan jutek bebeknya dia melanjutkan langkahnya kembali. Aku mencoba mendekatinya, “Nicole, tolonglah, kita selesaikan semua dengan kepala dingin. Aku juga perlu alasanmu mengapa semua jadi begini. Hidupku jadi tidak tenang, Cole. Tanpamu aku galau, aku selalu menyendiri.” Lunakku. Nicole hanya diam dan memperlambat jalannya.
“Hah? Galau? Bukakankah kamu punya banyak teman dan cowok ganteng-ganteng itu?” timpal Nicole. Apa cowok? Siapa sih? Aku tak mengerti apa yang dia bilang. Atau jangan-jangan…
“Chiseeeel!! Aku perlu bantuanmu sekarang! Eh, hai Nicole. Ayo Shel. Please??” seseorang di belakang teriak seperti melihat maling berkeliaran. Bryan lagi Bryan lagi. Ini anak seperti aku aja emaknya!
“Tuh kan, udah ah aku jalan duluan. Selamat bersenag-senang!” ucap Nicole sinis. Aku menghela nafas mencoba menahan emosi. Gara-gara Bry juga sih! Ckckckc... Aku segera menarik lengan Bryan menjauh dari tempat tadi.

   Sambil berjalan, aku ingin menanyakan surat tadi pada Bry.
“Emm, Bry, apakah kamu hari ini mengirim surat?” tanyaku dengan hati-hati. “Memangnya kenapa?” jawabnya curiga. Aku segera memutar otak mencoba mencari alasan yang tepat.
“Apa kamu kenal surat ini?” aku menyodorkan surat itu pada Bryan. Seketika itu juga Bryan ingin bicara, namun sayangnya Shane segera datang menghampiri kami.
“Maaf menganggu, Chisel, kamu dipanggil Ms.Elizabeth ke ruangannya segera.” Bryan tampak sedikit gusar. “Baiklah, tapi aku lupa di mana ruangan Ms.Elizabeth.”
“Biar aku yang antar!” jawab Shane dan Bryan serempak. Aku hanya terdiam seolah tak percaya dengan apa yang mereka ucapkan. Dan akhirnya Shane yang mengantarku namun anehnya, aku malah senang. What is this sign?
***
 Waaa :3 Chisela Misery !! masalahnya jadi makin rumit, tapi eehh cie cie, dia dapat surat cinta tuh dari orang tak dikenal. Kira-kira siapa ya? Apakah benar Bryan? Atau yang lain? Penasarankan?? Ikuti aja ceritanya yaa, Part 7 menyusul .. babayyy ;)

Thanks before, Bella.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 5*


Maaf ya vakum lama bangeeet untuk part 5 nyaaa :( saya sibuk jadi harus curi2 waktu buat nulis, tapi akan selesai kok ;) so lets enjoyed my story!

#5

   Untuk hari ini sang surya enggan untuk menampakkan dirinya. Seolah sedang beristirahat sejenak dari kegalauan. Cuaca agak sedikit mendung, angin yang berhembus kencang berupaya untuk menerbangkan payung yang sedang kugunakan. Aku yang berjalan sendirian ditemani dinginnya hari dan beratnya buku. Kurasa, flu kembali hadir tanpa izin ku dulu. Wajahku kini pasrah menyambut datangnya demam dan flu yang telah lama kuhindari. Gairah hidup untuk saat ini tiba-tiba menguap dengan sendirinya. Payung yang kupegang seperti memelas untuk dilepaskan. Tanpa sadar, kulempar payung itu tanpa memperdulikan diriku sendiri.

   Sepulang les tambahan di sekolah yang membuat kepalaku sedikit atau mungkin sangat mumet, ditambah kembali ke rumah tanpa jemputan pak Kevin atau Dad alias naik taxi atau malah jalan kaki! Tak kuhiraukan dering hp agar aku tetap berkonsentrasi mencari tumpangan pulang. Sangat gila jika aku harus berjalan kaki sampai rumah! Dari arah belakang, sebuah mobil melaju kencang. Aku sadar, posisiku saat ini tidak jauh dari genangan air hujan berwarna coklat. Sangat menjijikkan! Namun, kaki ini sudah tak mampu lagi menghindar. Dan alhasil………………. Ceeeeeesss! OH MY GOD! Rasanya seperti terguyur chocolate ice dicampur pupuk urea! Tanpa sengaja, aku bersin sebanyak 5 kali! Tidak tau apakah flu ku bertambah berat atau air beceknya masuk ke dalam organ tubuh (read: nose). Kulihat mobil itu berhenti tak jauh dari tempatku berdiri sedang meratap tak jelas. Seseorang turun dari mobil membawa dua buah payung yang satunya telah dipakainya.

   “Sorry, it’s my fault!” ucapnya mencoba memperlihatkan wajahnya padaku yang tertutup payung. Dia memberikan satu payungnya padaku dengan sedikit memaksa. “Cepat ambil ini! Dan masuklah ke mobilku.”
Tanpa suara, dia membantu membawa buku ku yang terjatuh nyaris rusak gara-gara terkena air hujan. Aku segera masuk ke mobilnya. Setelah selamat dari bencana “tidak pulang ke rumah”, aku mengambil tisu untuk membersihkan sisa-sisa kotornya air tadi. Untuk saat ini kurasa dia menjelma menjadi “Angel” yang mencoba menolong seorang perempuan malang dipinggir jalanan yang kotor dilengkapi make-up lumpur seperti ikan lele raksasa. Tak lama kemudian, si “Angle” itu masuk ke mobil dengan susah payah sambil menggendong bukuku yang lumayan berat. Wajahnya tak terlihat karena tertutupi topi yang sedang dipakai. Aku mencoba mengambil tisu untuk membersihkan kotoran yang masih menempel di pakaianku seolah telah lekat tak mau pergi.

   Ketika aku masih fokus untuk bersih-bersih, ternyata mobil sudah melaju menembus derasnya hujan dan kencangnya angin. Disaat tanganku ingin mengambil beberapa lembar tisu, tanpa sadar kotak tisu telah kosong melompong! Tisunya telah lenyap masuk ke dalam tempat sampah berukuran kecil di samping kaki ku! Ya Tuhaaaan!!!
“Butuh tisu lagi? Nih.” Sodor orang itu. Dari arah samping, sepertinya aku kenal bentuk hidung dan bibirnya, hehe. Sepertinya aku pernah bertemu sebelumnya. Namun, aku sangat bodoh telah melupakan namanya. Hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang tipis melayang-layang dipikiran ku. Otakku mencoba mengingat siapa dia.
“Err, sepertinya aku mengenalmu.” Aku memancing percakapan lebih dulu. Kacang kacang kacaaaaaangggggg….! Dia hanya diam menikmati indahnya gerimis yang mulai mereda. Baiklah, sepertinya aku yang harus menahan rasa penasaranku dengan menutup mulut.
“Jangan manyun dong, jelek!” tiba-tiba dia menyeletuk. Apaa?? Manyun?? Jeleek?? Ternyata dia masih memperhatikanku *cieilaah* buktinya dia tau aku tetap cantik walau berlumutan eh berlumuran! Aku hanya diam seolah balik mengacangi pernyataannya tadi.

   “Kita memang pernah bertemu. Seingatku dua kali, semoga benar.” timpalnya. Dua kali? Wait for a moment…. Ya ya! Aku baru ingat! Dia yang mengantarku pulang ke rumah setelah MOS dan kita juga pernah bertemu di toilet Foodcourt.
“Shane ?” dengan ragu-ragu aku mencoba menatap wajahnya. BERHASIL! Kini dia memalingkan wajahnya padaku. Dan benar! aku ingat wajahnya, aku tau siapa dia. Lagi dan lagi, dia hanya tersenyum tipis dan kembali menatap jalanan yang licin.
“Emm, benarkah?” aku mencoba memastikan agar hal memalukan tidak terulang untuk yang kedua atau kesekian kalinya.
“Ya, kamu benar. Aku Shane Filan. Secepat itukah melupakan nama ku?” pertanyaanya membuatku terpojokkan. Ya, aku hanya gadis yang sebelumnya tak pernah mau kenal seorang lelaki. Bahkan namanya saja lupa walau sudah melihat wajahnya. Tetapi, kali ini beda.
“Mungkin, otakku yang hampir meletus ini tak mampu untuk mengingat namamu dengan cepat.” Aku mencoba beralih.

***
   “Happy Sunday day, dear!” sapa dad ketika aku baru sampai di ruang makan.
“You too, dad.” Sepertinya dengan sepotong roti gandum dan coklat panas dapat meringankan flu ku ini. Kali ini aku harus menahan emosi yang tidak tahan mendengar kicauan Koa. “Ai hap a dleeem, a song to siingg, to hep mi cop, wit aniting.” Ceracau nya. Mom yang melihat gelagatku agak risih mendengar Koa, berusaha mendiamkannya agar aku tetap nyaman. Tapi apa boleh buat, namanya anak kecil ya mau sampai kiamat pun gak bakalan didengerin!
“Arrrghhhh!! Koa!! YOU CAN STOP??!! DON’T DISTRUB ME!” akhirnya aku meledak. Aku benar-benar marah padanya. Saat itu, aku tak peduli dengan reaksi dad dan mom. Aku berlari sambil membawa sarapanku yang masih utuh ke kamar di lantai atas.

   “Benar-benar pagi yang menyebalkan!” gerutuku. Secara bersamaan, dering hp mengiringi kekesalanku. Tertera nama Nicole memanggil. Mau tak mau, harus kuangkat.

*Via Hp
Nicole  : Morning, Chisel. How about your life?
Me       : Iam so bad, now.
Nicole  : Really? Are you sick?
Me       : Yes. only a slight fever and flu.
Nicole  : Oh, sorry. if you're not sick, I want to take you to the boutique.
Me       : For what?? The party??
Nicole  : Maybe, so how?
Me       : Okay, I'm coming with you.
Nicole  : Is it true? I'm glad to hear it. I'll pick you up at 3 pm.

Sebenarnya, sangatlah buruk jika aku harus keluar dengan kondisi yang tak memungkinkan. Namun demi sahabatku, kuiyakan saja ajakannya walau berat.
***
At 2 pm.

   Tok tok tok…. Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mempersilahkan si pengetuk pintu itu untuk masuk sambil mencoba bangun dari istirahat siangku. Ternyata mom. Seperti biasa, wajahnya selalu dihiasi senyum yang sangat indah!
“Dear, mom know you're sick. But, can you keep control of your emotions to your little brother?” Tanya mom. Aku hanya terdiam. Aku mencoba mengingat apa yang telah kukatakan pada Koa tadi. Mungkin sangat kasar. Mom mendehem beberapa kali sehingga membuatku terpaksa menjawabnya.
“sorry, mom. I know, I was wrong. I will apologize to Koa.”
Mom tersenyum mendengar ucapanku barusan. Tanpa diduga, Koa muncul di depan pintu. Aku hanya mengangkat alis sambil berkata,
“If you are truly my brother, come here.” Ku lihat senyum Koa merekah. Dia memelukku sambil meminta maaf dengan gaya cadelnya.
“Iam sorry, my lovely sister. I promise I will not disturb you again”  

    Tampak hp ku kembali bergetar. Koa segera mengambil nya untukku. Tanpa sadar, dia membaca si pemanggil, “Bryan McFadden.” Ucapnya polos. Beruntung, mom sudah keluar.
“KOA! Please do not call names. If mom heard how?”
Lagi lagi, aku harus membentak Koa. Dia terlihat ketakutan sampai menjerit seperti habis melihat sosok “Beautiful In White”.
“Maaf, Koa salah. Maapin Koa ya kak?” ucapnya memelas. Ya Tuhan, sangatlah lelah jika seperti ini. “Baiklah, pergilah mandi. Setelah itu kamu boleh ke sini lagi.”
Segera kuangkat telepon dari Bry dengan mata sayu dan mulut yang kering. Ternyata Bryan mengajakku pergi menemaninya ke bandara menjemput neneknya. Akhir-akhir ini aku dan Bryan memang dekat. Entah mengapa itu bisa terjadi. But we're just friends. Tanpa sadar aku iyakan ajakannya karena dia mendesakku harus cepat-cepat. Alhasil, setelah kututup telepon darinya, dengan berlari aku langsung ngacir ke kamar mandi dan berhasil terjatuh! Gedebuuukdungcesss!!!
“Apa yang terjadi, dear?” teriak Mom dari luar kamar.
“Tidak ada apa-apa mom.”
 
   Ketika aku sudah bersiap pergi, sebuah pesan dari Nicole masuk. Ya Tuhaaan!! Mengapa aku bisa lupa??!! Janji pada Nicole sekarang telah kuabaikan! Aargggghhh!! Sekarang apa yang harus kulakukan sedangkan Bryan sudah menunggu di depan gerbang?! Iam so stupid stupid stupiddd!! Stupid girl! Dengan wajah cemas, aku masuk ke mobil Bryan sehingga membuat Bryan mengangkat alisnya.
“Are you okay?” aku hanya menganggukkan kepala tanpa bersuara sedikitpun. Ohh Nicole, so sorry.. iam sorry. Sesampainya di bandara yang membutuhkan waktu tiga puluh menit, akhirnya aku dan Bryan bertemu dengan neneknya yang kebetulan sudah menunggu. Bryan memeluk neneknya dengan gembira. Rindu sang cucu dengan neneknya terobati.
“Who are you? Bryan girlfriend?” pertanyaan si omma membuat aku dan Bry salting (read: salah tingkah). Aku dan Bryan dengan cepat menjawab, “BUKAN!” si Omma hanya tertawa kecil. Sungguh aneh. Tiba-tiba, pipi Bry merah padam. Aku hanya mendelik melihatnya seperti itu. Ketika kami sampai di mobil, omma meminta untuk lunch sebentar. Aku dan Bry mengiyakan. Ternyata, omma itu sangatlah baik. Selama diperjalanan aku suka sekali bercerita dengannya. Hehehe…

@Paparaze Town

   Ketika lunch, omma memilih makan di meja terpisah dan akhirnya aku semeja dengan Bryan. Saat itu wajahku memang sangat-sangat-sangaaat BETE! Aku bersin berkali-kali. Sehingga Bryan terlihat menahan tawanya sambil menyodorkan tisu padaku. Aku hanya memanyunkan mulut seolah tidak terima ejekkan Bryan. Beberapa waktu kemudain, setelah kami selesai makan, dan Bryan sedang membayar bill nya, seseorang di belakang menepuk pundakku.
“Whatt??? Jadi ini yang kamu lakukan. Tadinya aku sangat senang bia pergi shopping bersamamu. Namun, sayangnya rasa itu tiba-tiba pergi dan aku sangat kecewa, Shel! Jika kamu memang tidak ingin pergi seharusnya kembali menghubungiku tanpa aku harus menunggu lama! Aku tau, kamu pasti lebih memilih Bryan dari pada sahabatmu sendiri. Ingat, jangan pernah hubungi aku lagi!” Ternyata dugaanku benar. Nicole! Dia benar-benar marah. Dan aku memang sepantasnya mendapatkan hal itu. Dengan wajah sayu, aku mencoba menahannya untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Namun, Nicole sudah keburu pergi entah ke mana.

   “Chisel, ada apa?” Bryan dengan terburu-buru menjumpaiku di sudut parkiran. Sepertinya Omma sudah masuk ke mobil.
“Chisel, cepat jelaskan. Mengapa menangis? Ada apa? Sepertinya tadi aku melihat Nicole menjumpaimu? Benarkah?” pertanyaan Bryan yang beruntun membuatku semakin gundah. “Sudahlah, Bry. ini masalah ku. Privacy ku. Sebaiknya kita segera ke mobil. Aku takut Omma menunggu terlalu lama. Aku jalan lebih dulu dari Bryan yang semakin linglung akan kejadian tadi.
***
    Dengan tergesa-gesa aku meletakkan tas di meja. Ku lihat, tas Nicole ada di seberang sana. Ya Tuhan, ku rasa Nicole masih benar-benar marah. Sampai-sampai dia rela pindah. Tiba-tiba Nicole ada di depan pintu, sepertinya ingin mengambil sesuatu. Namun, ketika dia melihatku, dia segera berlari mencoba menghindar. Tanpa ba-bi-bu-be-bo aku menyusulnya sampai menabrak seseorang di depan dengan siku ku. “NICOOOOOOOOOOOLLLLEEE! Wait!” aku berteriak di setiap koridor kelas yang kulewati, seperti orang gila. Biarlah, demi Nicole aku rela. Tapi percuma, Nicole berhasil menghilang tanpa jejak.
***
Loh loh lohhh… ada apa lagi nih antara dua sahabat itu? Chisel dan Nicole. Kok Nicole nyebut-nyebut nama Bryan ya? Hayoo, penasarankan… ikutin terus ya ceritanya. Par 6 menyusul, babaayyy ;)

Thanks before, Bella.





Senin, 23 Juli 2012

Puzzle Of My Heart *Part 4*


#4

   Seperti biasa, siang itu, Nicky, Mark, Shane dan Bryan kumpul di markas mereka.
@Carlton Café
Mark terlihat agak lesu seperti biasanya. Seperti kehilangan cahaya hidup yang hilang entah kemana. “Mark, are you okay?” Tanya Nicky yang mengundang perhatian Bryan dan Shane. “Yeah, sedikit buruk, Nick. But, I’am okay.” Mark mencoba mengalihkan perhatian teman-temannya agar tidak khawatir. Sebenarnya dia tidak sakit, namun………
“Kenapa gue jomblo mulu ya? Padahal wajah gue kan ngalahin Tom Cruise.” Ucap Mark dalam hati. -_-“ Shane yang dari tadi ngotak-atik Iphone nya, terlihat sedikit gersah tak beralasan. Namun lain dengan Bryan, dia terlihat seperti orang yang lagi kasmaran. :O
“Lads, kalian kenapa sih? Aneh tau gak! Hari ini kalian seperti alien yang mencoba beradaptasi!” Kesal Nicky. Bersamaan, Mark, Bryan dan Shane menatap Nicky. “Tuh kan, ngeliatin gue aja sampai segitunya. Gue tau gue emang ganteng, tapi jangan segitunya juga kali.” Nicky mulai Pede mode ON!
“Gue bete ah, kalau begini terus. Gue mau pulang aja!” ngambeknya.
Mark, Shane dan Bryan dengan cepat berdiri mencoba mencegah Nicky.
“Okay, adilnya, kita sharing aja deh sekarang. Lo duluan aja Mark.” Nasihat Shane yang berhasil membuat Nicky kembali duduk dengan sedikit mendumel.

   Wajah Mark terlihat pasrah. Mungkin apa yang dibilang Shane benar. Dia mempunyai teman untuk berbagi. “Baiklah, sebenarnya gue engga sakit. Cuma………” Kata-kata Mark yang menggantung membuat teman-temannya penasaran. “To the point aja Mark.” Tegas Nicky.
“Cuma, gue udah bosen jomblo terus. Lo pada tau kan, gue ini keren. Tapi gak ada yang berani deketin gue.” Lanjut Mark. Nicky dan Shane hanya garuk-garuk kepala mencoba mencari solusi. Sedangkan Bryan hanya tersenyum tak karuan.
“Ehmm, Mark, gue Cuma mau ngingetin aja. Lo pernah dekat sama perempuan gak?” Tanya Nicky. Mark hanya menganggukkan kepala.
“SAMA SIAPA???????” tiba-tiba Bryan nanya sambil ngotot. –-“
“Santai, Bry!” ucap Shane. Tapi Mark semakin menundukkan kepalanya. Seolah tidak ingin mengingat kembali masa lalunya. “Pernah, Cuma sekali. Cuma enggak sampai jadian. Namanya Calmond Grumbly. Gue cinta banget sama dia. Sayangnya dia cuek jutek bebek, jadi gue enggak berani shoot deh.” Teter Mark. Bryan hampir jungkir balik gara-gara nahan ketawa. “Katanya lo gentle Mark?! Masa gitu aja enggak berani! Kenapa dulu lo engga minta bantuan gue aja. Kali aja kesampaian.” Ucap Bryan. “Gimana mau minta bantuan, lo nya aja sibuk ngejar si Catherine!” jengkel Mark. Bryan hanya nyengir mengingat kejadian dia ditolak si Cat gara-gara nembak pake bunga layu. xD

   “Mark, coba lo buka hati lo lagi buat yang lain. Kali aja, ada yang suka sama lo. Tapi karena elo nya juga tertutup jadinya yang tadinya suka jadi mendam perasaanya sendiri.” Nasihat Shane. “Dan penyebab lain, mungkin lo masih cinta banget sama si Grumble itu. Jadi susah untuk nyari yang lain.” Timpal Nicky. Mark terdiam mendengar nasihat kedua temannya itu. Sedangkan Bryan menyodorkannya se-cup ice cream. “Thanks, Bry.” Ucap Mark. Lagi-lagi Bryan hanya tersenyum. “Oke, gue sadar hati gue masih untuk Grumble. Gue aka coba untuk yang lain. Thanks advicenya, guys!” Mark mulai tersenyum. “Nih, minum dulu.” Ucap Bryan pada Shane dan Nicky.

   “Nah, kalau elo sendiri gimana Shane?” sebaliknya Mark yang bertanya. Shane hanya diam seperti berpikir. Ketiga temannya menunggu karena mereka tau, Shane orangnya pendiam. Jadi agak susah buat sharing masalahnya. “Baik, jujur aja. maaf Bry. Gue sebenarnya bete nunggu kabar elo dari kemarin.”
Mata Mark dan Nicky tertuju pada Bryan. “Oke oke, gue kelupaan ngasih tau lo Shane. Untung keinget sekarang.” Bryan meminta maaf pada Shane sebelum diterkam Mark dan Nicky. “Sebenarnya, gue udah ketemu kelas Chisel. Dia memang masuk kelas unggulan. Kelas X.A.” Bryan memberitahu Shane dengan agak berat hati. Entah kenapa perasaannya tidak ikhlas.
“C’mon, Bry. Elo kenapa sih? Ini kan memang permintaan Shane yang udah lo sanggupin.” Tanya Bryan pada dirinya sendiri.
“Oke, masalah Shane clear. Elo lagi Bry.” Nicky mepersilahkan Bryan untuk bercerita.
 
   “Let me guess. Pasti elo lagi kasmaran kan?? Jujur aja deh.” Tebak Mark yang membuat wajah Bryan merah padam. Shane mengernyitkan keningnya. Sepertinya dia curiga dengan Bryan. “Hehehe, sok tau ah lo Mark.” Sergah Bryan. “Jujur aja deh. Lagian enggak ada yang marahkan kalau lo emang lagi falling in love?” goda Mark. Bryan memberanikan diri menatap Shane. Namun sepertinya ada yang aneh.
***
@Book Store

   “Aku cari buku fisika dulu yaaa..” aku memisahkan diri dengan Nicole yang sedang asyik membaca novel. Nicole hanya mengangguk lalu melanjutkan bacanya kembali. Setelah menemukan buku yang kucari, aku kembali menuju tempat semula di mana Nicole barada. “Gimana, udah ketemu?” Tanya Nicole. “Udah. Kamu?” aku kembali bertanya. “Udah juga. Yaudah, langsung ke kasir aja yuk. Udah mendung juga, mom sudah nunggu di luar.” Ajak Nicole.

   “Pulang bareng yuk?” ajak Nicole. “Sebenarnya sih aku mau, hanya saja, aku harus mebeli sesuatu yang lain.” Ucapku. “Yahh, maaf deh aku gak bisa nemenin kamu lagi. Setelah ini ada jadwal les balet, makanya mom jemput sekarang. Kamu gak papa kan sendirian?” Nicole mencoba memastikan.
“Gak apa-apa kok. Kamu pulang aja duluan. Nanti telat lagi.” Aku mencoba tersenyum. Nicole segera masuk ke mobil sambil melambaikan tanganya padaku.
“Huffh, nasib nasib… mana Dad gak bisa jemput. Pak Kevin masih sakit. Aku harus pulang naik taxi lagi.” Keluhku.
Tiiiiiiiiiin!!!! Bunyi klakson mobil di belakang mengagetkan ku. Hampir jantung copot! -_- Mobil itu berjalan perlahan seperti mengikuti langkahku.
“Hei, kalau jalan hati-hati.” Peringat seseorang dalam mobil. Aku yang lagi bete, hampir naik darah. Mana lagi dehidrasi lagi. Aku menoleh menghadap kaca mobil itu sambil berteriak mencoba mengalahkan angin yang kencang.
“Maaf, saya tau saya salah.” Aku mencoba membela. Ketika kaca mobil itu turun perlahan, muncul wajah seseorang yang membuatku membelalakan mata.
“Eh Elo?? Chisel kan?” Tanya orang itu.
“Lahh, ketemu lagi ama ni orang. Ya Tuhan, mengapa hidupku menderita seperti ini.” Ratapku. “Iya.” Jawabku.
“Mau ke mana? Gue antar yuk?” tawar Bryan. “Eh, enggak usah. Aku bisa naik taxi.” Aku mencoba menyela. “Yakin? Gerimis loh. Taxi nya juga penuh tuh.” Benar apa yang dikatakan Bryan. Tiba-tiba hujan mengguyur dengan perlahan. Baiklah, aku menyerah. Ku iyakan ajakanyya. Hitung-hitung hemat. :D
***
    “Shel, temenin gue lunch dulu mau gak? Kebetulan ada Foodcourt dekat sini.” Bryan bertanya padaku. Sebenarnya kalau boleh jujur nih ya, pengen cepat-cepat pulang. Soalnya Mom udah nge-bell (*miscall) sampai lebih dari 10x. ^^” Tapi sebagai ucapan terimakasih, aku mengangguk.

   Selesai makan, aku izin ke toilet sebentar. Sebenarnya sih untuk nge-cek Hp sebentar. Ketika keluar dari toilet, aku menabrak seseorang di depan. Beruntung, Hp sudah selamat di dalam tas.
“Aduh, maaf ya maaf banget!” aku benar-benar merasa ceroboh. Aku mencoba melihat orang yang kutabrak tadi. Dan ternyata……
“Huhh, iya deh enggak papa. Cuma lengan gue keseleo nih!” ringsinya. Biar kutebak, pasti lengannya membentur tembok. -_-“
“Loh, dia kan……” aku mencoba mengingat. Namun aku tidak tau siapa namanya. “Eh, Chisela kan?” tanyanya persis seperti Bryan tadi. “Heheh, iya, kamu kan…”
“Shane, Shane Filan. Kamu ngapain di sini?” tanyanya kembali. “Lagi Lunch.” Jawabku.
“Sendirian?” Shane curiga. Dia seperti kenal dengan seseorang yang sedang duduk di sana. “Sama dia?” tunjuk Shane “Iya, benar. Sama Bryan.” Jawabku.
Shane telihat kaget mendengar nama itu. Dia hanya diam.
“Hei, kamu gak papa kan?” aku mencoba memastikan gelagatnya. Aneh sekali.
“Oh, ehm, tidak. Tidak papa. Baiklah, aku harus segera pergi. Salam buat Bryan ya.” Ucapnya datar. Shane segera berkilah bergegas pergi memutar arah. Sejenak kurasakan keganjalan tingkahnya tadi.
“OOhh, jadi namanya Shane. Nama yang unik.” Ucapku tersenyum.
***
   “Thanks ya, atas bantuannya tadi. Maaf jika merepotkanmu.” Ucapku pada Bryan. “It’s okay. Thanks juga sudah nemenin gue lunch. Hari ini gue tidak keliatan kayak orang Jomlos (*Jomblo Sejati).” Cengir Bryan. “
“Oh iya, tadi ada yang nitip salam. Namanya… aduh lupa lagi! Oh iya, Shane! Shane Filan, benarkah? Sepertinya kamu kenal dengannya.” Ucapku sebelum turun dari mobil. Tak jauh dari kelakuan Shane, Bryan tiba-tiba juga terdiam mendengarnya. “Shane? Oh ya, baiklah. Aku memang mengenalnya. Dengan baik.” Bryan buru-buru memperjelas ucapannya seolah tidak ingin membuatku curiga. “Baik, sekali lagi terimakasih.” Aku menutup pintu mobil dan di depan sudah ada Mom berdiri. “Dear, kok lama sekali?? Mom khawatir. Mom kira kamu nyasar.” “Hahaha, mom, aku kan sudah dewasa. Pasti bisa jaga diri baik-baik kok. Tenang saja.” Aku mencoba memupuk rasa cemas Mom. “Baiklah, cepat ganti baju dan segera istirahat. Dad akan mengantarmu untuk les piano.” Perintah Mom. “Baik, Mom.”

   Aku berjalan perlahan menuju kamar sambil berpikir atas kejadian tadi. Dua orang yang sama-sama baru ku kenal dengan tingkah laku aneh ketika kusebutkan nama dari salah satu mereka. Sebenarnya ada apa sih? Baiklah, dari pada pusing mikirin yang tadi, aku segera melompat ke kasur untuk beristirahat dengan perasaan menggantung.
***
   Nah loh! Ada apa itu antara Shane dan Bryan??? Kok tiba-tiba jadi aneh ya? Chisel aja pusing mikirin nya. Hhihih :D mau tau kelanjutannya kan?? Apa sih yang sebenarnya terjadi antara mereka?? Ikutin terus ceritanya ya.

Part 5 menyusuuuuuuul, bubbaaaay!! ;)

Thanks before, Bella.