#9
Sengatan matahari siang itu bukan menjadi penyebab
mengalirnya keringatku, namun aku mengalami panas-dingin mendadak karena
mereka. Dua orang misterius yang memintaku menemui mereka, sekarang juga!
“Ms.Misery, wait!” tahan
seseorang di belakangku. Sekejap aku mematung tanpa mengedipkan mata.
“Hari ini kita harus latihan
secara full. Dua hari ke depan saya harus berangkat ke Canada untuk
pertemuan guru musik se-dunia. Bagaimana?” tanyanya. Ternyata Miss Elizabeth!
Huuffh, terus bagaimana dengan dua surat
ini? Tik tuk tik tuk, arloji ku berdengung menyadarkan ku.
“B… baiklah, bersama Shane juga?”
“Tentu, atau mau sama Bryan?”
goda Miss Elizabeth membuatku terkejut mendengarnya. Dia mengedipkan mata
kepada ku untuk segera mencari Shane.
“Maksudnya apa sama Bryan?” racau ku dalam hati. Tapi, bagaimana dengan
kedua surat
ini? Aku pun berbalik mengejar Ms. Elizabeth.
“Miss….. please wait!” teriakku
di lorong kelas yang begitu sunyi. Dia menoleh ke arahku.
“Sorry, miss. Tapi bisakah beri
waktu pada saya sekitar dua puluh menit lagi?” tanyaku memelas. Miss Elizabeth
menaikkan alisnya, berpikir sebentar. Dia mengangguk sambil berkata, “Tapi
jangan lupa, segera ke ruang musik!” peringat nya.
“Bersama Shane ya, jangan salah
bawa orang!” tambahnya. Aku mengangguk
sambil tersenyum. Huffh syukurlah waktu ku masih ada untuk memikirkan nasib dua
orang ini. God, help me please! Aku sudah sampai di ujung jalan, namun rasa
resah telah muncul kembali. Aku harus ke arah kanan atau kiri? Ku lihat kaki ku
menuju kiri, namun hatiku bilang ke arah kanan. C’mon, chisel…. Aku menengadah
mencoba mencari ilham.
“Kanan… kiri… kanan… kiri… KANAN
ATAU KIRI?????????????????????” akhirnya aku kesal dan berteriak hingga
beberapa orang yang lewat melirikku aneh. Aku hanya cengar-cengir mirip orang
bodoh yang tak mengerti jalan.
“Hei, kamu kenapa, Shel?” Tanya Nicky yang lewat di depanku dengan wajah
penasaran. Aku hanya menggelengkan kepala sambil jalan mondar-mandir. Baru hari
ini, aku merasa bukan seperti diriku sendiri, sangat aneh!
“Ada masalah? Mau aku bantuin gak? Mumpung jadwalku
gak padet. Lumayan loh ditolongin sama orang ganteng!” oke Nicky mulai narsis.
Sepertinya aku memang butuh bantuannya. Dengan pasrah, kuserahkan dua lembar
kertas yang hampir koyak itu karena kuremas sangat kuat. Nicky mengambilnya dan
membaca satu demi satu untaian kata yang tertera di situ. Terdengar kikikan Nicky
sambil tersenyum. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyodorkan
kedua kertas itu padaku kembali.
“Sepertinya aku kenal dua tulisan ini.” Ujar
Nicky. Nah loh! Jangan-jangan……..
“Ayo ikut aku!” Nicky menarik
lenganku dengan perlahan. Dia menuju ke arah kiri sambil memberitahu ku agar
menjaga suara. Jika tidak, terpaksa dia harus menempelkan isolasi hitam di
mulutku! Huuueeeh!
“Benar dugaanku, “ desis Nicky sambil merunduk di balik pohon beringin
yang sudah tua. Sayangnya, hanya Nicky yang dapat melihat apa di depannya. Sedangkan
aku hanya bisa melihat punggung nya karena terhalang oleh sebuah ranting yang
cukup besar.
“Sebentar,” cegahnya. Huh! Gaya sok detektif-nya
keluar lagi! Sudah hampir sepuluh menit Nicky mengacangiku. Baiklah, sisa waktu
tinggal sepuluh menit lagi! Tanpa sepengetahuan Nicky, aku melangkah ke arah
yang berlawanan, entah mengapa hatiku terus berontak memaksaku berjalan ke arah
kanan. Sekali lagi aku menoleh ke arah Nicky, masih dengan posisi yang sama
membuatku semakin kesal melihatnya. Ketika aku sampai di taman yang berdekatan
dengan lapangan bola kaki, keadaan terasa sangat sunyi.
“Akhirnya kamu datang juga, walau
terlambat.” Ucap seseorang membelakangiku. Ketika dia berbalik, hanya setengah
wajahnnya saja yang terlihat, sedangkan bagian hidung dan matanya tertutup
sebuah topi jeans.
“Ka… kamu siapa? Ada urusan apa hingga
menyuruhku menemuimu?” aku tergagap sangat ketakutan. Namun masih tenggelam dalam kebisuan, lelaki
itu duduk di sebuah kursi panjang tanpa menoleh sedikitpun ke arah ku.
“Duduklah dulu,” perintahnya.
Pandangannya menyorot ke depan hingga membuatku mendelik. Sekilas kulihat
senyum terukir di bibir tipisnya. SENYUMNYA! Mengapa tidak asing bagiku? Apakah
dugaanku benar?
Dia mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda berbentuk hati.
Sontak aku sangat kaget! Surat itu…. surat itu sangat mirip dengan surat yang kuterima dua hari yang lalu.
“Su.. suurat itu?” gumam ku
hingga membuatnya sedikit bergerak.
“Masih ingat?” tanyanya dingin.
Jangan-jangan….
“Kamu benar, surat itu dari ku.” Ujarnya membuatku semakin
penasaran. Aku hanya menggigit bibir.
“Lalu, kamu siapa?” tanyaku
kembali hingga membuatnya tersenyum kembali.
“Baiklah, sebenarnya aku adalah
……”
Pippp pipp! Oh sial! Sepertinya hpnya bunyi.
Aku terus menatap wajahnya dengan seksama. Aku mencoba memperhatikannya,
mungkin saja ada sesuatu yang bisa membuatku mengenalinya. Dia mengangkat
telepon dan menjauh dariku. Selesai
menutup percakapannya tadi, tiba-tiba dia meminta maaf padaku.
“Maaf, maafkan aku. Sepertinya
aku harus segera pergi, ada sesuatu yang penting yang harus kuselesaikan. Lain
kali kita bertemu kembali.” Dengan terburu-buru dia melangkah. Aku masih
mematung dengan tatapan kosong. Di kejahuan, aku masih memperhatikannya.
Tiba-tiba dia membuka topi, dan…..
”Hei! Dicariin ke mana aja sih? Aku kira kamu hilang, Shel!” kaget Nicky
membuatku lemas. Aku hanya terkikik sambil mengajak Nicky kembali ke kelas.
“Jadi bagaimana?” tanyaku. Nicky
hanya terdiam. Dia membuka mulut,
“Pergilah ke taman di sisi kiri
tadi.” Serunya.
“Aku tidak bisa mengatakan yang
sebenarnya, jika kamu ingin tahu, pergilah. Maaf Chisel.” Lanjutnya sambil
meninggalkan ku. Tiba-tiba aku merasakan keanehan dari nya. Tidak seperti
biasa, Nicky yang selalu terbuka. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Dengan agak ragu, aku berjalan menuju taman tadi. Sesampainya di sana , apa yang terjadi?
Aku hampir pingsan! Tak percaya siapa yang sedang kulihat.
“Bry… Bryan ?” ucapku hampir tak percaya. Bryan berbalik sambil
tersenyum hangat.
Dia menyuruhku mendekat. Aku
mengiyakan dengan gugup.
“Ada apa?” tanyaku hati-hati.
“Kamu tahu, saat pertama kali aku
melihatmu? Saat MOS dan aku marah atas keterlambatanmu. Saat itu aku ingin
minta maaf dan terus terbayang wajah polosmu. Sayang, aku lupa namamu dan di
mana kelasmu. Hingga waktu itu, saat aku menolongmu membawa buku ke ruangan
guru dan di situlah ku tau namamu. Kamu tau apa yang kurasakan? Tiba-tiba saja
aku tertarik padamu. Saat itu juga!” terang Bry. Astaga! Ya Tuhan, inikah yang
namanya cinta?
“Chisela
Misery, i know you are very surprised. But, before I'm late, i must admit, i
love you so much. And were sent a letter that was me. ” Lanjut Bryan. Aku hanya melongo, seolah
aku tak mendengar apa-apa. Adakah yang bisa membangunkan ku sekarang? Tolong sadarkan
aku jika ini hanya mimpi. Entah mengapa, aku… aku…. Ingin menangis. Adakah yang
bisa mengartikan semua ini?
“With
all my feelings, would you be my girlfriend?” ucap Bryan dengan agak tersedak. Kurasa aku adalah
gadis yang mati rasa, mengapa aku tak terenyuh dengan kata-katanya? Apa Tuhan
belum memberikan perasaanku padanya? Atau aku memang masih ‘ingusan’ seolah
belum mengenal apa itu cinta? Ingin kugoreskan segenap perasaan pada Bry, tapi
sulit. Selama ini aku mencoba untuk lebih dekat padanya namun selalu risih. Aku
hanya menganggap nya sebatas teman dan kakak. Itu saja.
“Bryan ,
seorang lelaki yang menjadi pujaan gadis. Semua yang kamu katakan, aku sangat
menghargai. Tapi aku harus jujur, aku tidak bisa membohongi perasaan ku
sendiri. Dengar Bry, entah mengapa, entah mengapa aku belum bisa menerima yang
kamu ucapkan tadi. Aku masih bingung, aku belum bisa memutuskan.” Aku hampir
menjatuhkan air mata tak sanggup mengucapkan kata-kata yang berarti ‘menolak’. Aku
tau, dia sangat yakin dengan apa yang diucapkannya itu, namun harus kukatakan
berapa kali? Aku belum mencintainya. Benar-benar kosong perasaan ku padanya. Maaf
jika aku agak frontal.
“Baiklah,
jika kamu belum bisa memutuskan, akan kutunggu sampai kamu siap. Oke?” Tanya Bryan
dengan senyum agak terpaksa. Sejenak aku menatap mata birunya yang terang, aku
mencoba mencari celah-celah rasa itu. Namun tetap tidak bisa!
“I..
iya, oh waktuku hampir habis. Aku harus segera latihan untuk festival, bye Bryan . Have a great day.”
Aku meninggalkannya sembari mencoba tersenyum.
“I
did not know, why my feelings have not been there for you, Bryan.” Gumamku.
***
“Wajahmu suntuk sekali?” Tanya Shane ketika
aku sampai di ruang musik.
“Ada masalah?” tanyanya
lagi. Aku hanya diam sambil melangkah ke arah sebuah piano kalsik yang masih
sangat bagus. Shane hanya menatapku dengan aneh.
“Tidak
seperti biasanya yang selalu ceria.” Gumamnya. Aku menekan-nekan tuts piano
dengan sembarang hingga terdengar alunan aneh yang mengganggu pendengaran.
“Hei,
jika ada masalah, bisa cerita padaku.” Tawar Shane sambil menutup telinganya. Baiklah,
aku menghentikan permainan ‘gila’ ini. Shane mencoba duduk di sampingku.
“Ada apa?” tanyanya
kembali. Aku masih menunduk mencoba menghindar dari tatapan Shane.
“Jika
terus begini, sampai kapan kita mau latihan? Mau melihat Ms.Elizabeth kecewa?” ucapnya
yang berhasil menyadarkan ku. Aku menyerah, aku mulai membuka mulut pada Shane,
“Sebenarnya,
tadi aku…… aku ditembak Bryan.” Ucapku. Sontak Shane terlihat kaget. Aku terengah
melihatnya.
“lanjutkan,”
kata Shane.
“Entah
mengapa, aku sangat kaget. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku menyukainya. Aku tidak
tega untuk menolak, namun aku juga tidak bisa menerimanya dengan kebohongan.” Jelas
ku sejelas-jelasnya. Shane hanya diam lalu tersenyum sambil menatapku. Tiba-tiba
senyumnya membuatku sedikit tenang. Entah apa artinya.
“Rasa cinta
itu adalah karunia Tuhan. Siapa saja bebas untuk memberikan cinta untuk
siapapun. Intinya kamu berhak untuk mencintai atau tidak. Jangan pernah paksa
perasaan jika memang belum ada. Kurasa, Bryan
akan mengerti walau dengan proses yang lama.” Nasihat Shane yang membuatku
terenyuh.
“Terimakasih untuk nasihatnya ya,
Shane.” Aku tersenyum padanya seperti biasa. Shane hanya mengangguk.
“Siap untuk latihan, putri?”
candanya.
“Putri? Haha, ayoo pangeran!” Shane
sedikit merona ketika kubilang ‘prince’ hahaha!
Shane mengambil microphone nya, sedangkan aku sudah mengambil tempat di
depan piano. Kami sudah memilih satu lagu yang cocok untuk festival nanti. Tapi,
masih dirahasiakan ya. Hahaha. Mula-mula kami berdua harus mencocokkan satu
sama lain, mulai dari bentuk suara Shane dan bunyi tuts piano nya. Dengan sabar
Shane terus menyemangatiku walau jari sudah agak keram. Satu kali, dua kali,
sampai sepuluh kali pun dan akhirnya kami bisa latihan secara lega. Jreeeenggg!!
Bunyi tadi mengakhiri latihan hari ini.
Proook prookk prokk! Tiba-tiba
terdengar tepuk tangan seseorang di depan pintu masuk.
“Amazing! Saya rasa saya akan
tenang ketika di Canada
nanti. Kalian berdua sudah cukup mandiri hingga memulainya tanpa menunggu saya
terlalu lama. Lagu yang kalian pilih sangat menyentuh hati dan saya suka. Dengan
ini, saya yakin kalian akan membanggakan sekolah. Silahkan istirahat. Teruslah berlatih
hingga hari H nanti.” Pesan Ms.Elizabeth sambil tersenyum lebar.
“Thanks Miss!” serentak kami
berdua ucapkan. Lalu shane mengajakku ke kantin untuk membeli minuman karena
dehidrasi sudah meningkat.
“Besok latihan lagi ya?” Tanya ku. Shane hanya mengangguk sambil meneguk
dua liter susu kesukaannya.
“Kamu maniak susu ya? Dua liter
loh!” celetuk ku.
“Iya, hehe..” sahut Shane. Aku pamit
duluan ke Shane untuk segera balik ke kelas.
***
*Dua Hari Kemudian*
Dengan yakin, aku melangkah ke kelas Bryan . Aku mencoba menyakan pada Kian yang
kebetulan sedang berada di pintu kelas.
“Bryan ? Oh dia sedang baca buku tuh di dalam.”
Ucap Kian sambil memperhatikan ku. Aku beterimakasih padanya dan dengan
perlahan menghampiri Bryan .
“Bry?” panggilku pelan. Bryan memunculkan wajahnya
yang tenggelam dalam sebuah novel tebal.
“Tumben baca novel, katanya tidak
suka?” Tanya ku.
“Memangnya tidak boleh? Ada apa ke sini?” Tanya Bryan
mulai dingin. Aku sudah memaklumkannya karena itu wajar. Bry pasti kecewa. Aku menarik
lengannya dan mengajaknya ke taman tempat tempat Bryan menembakku.
“Bryan aku mau jujur, tapi kamu jangan marah
ya?” ucapku. Bryan
hanya mengangguk sambil menatap pohon beringin tua itu.
“Bry, aku sangat sangat
menghargai perasaanmu. Demi Tuhan, aku sangat menghargai. Tapi, aku tidak mau
kamu tersiksa dalam kepalsuan cinta. Maafkan
aku Bry. aku sudah menganggapmu sebagai teman dan kakak. Tidak lebih. Entah mengapa,
cinta itu belum tumbuh di hatiku. Maaf Bry, aku tidak mau membohongimu dan
diriku sendiri.” Aku mulai menangis. Aku sangat menyesal mengatakannya tapi aku
memang harus jujur padanya. Aku mencoba menatap Bryan dengan sungguh-sungguh.
“Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Cukup jadi teman saja tak apa-apa.” Ucap
Bry lemas.
“Bry, bolehkah aku memelukmu?”
tanyaku mencoba menghiburnya. Tiba-tiba Bryan
tersenyum dan mengangguk. Aku langsung memeluknya dengan agak payah. Bryan tinggi sih!
“Be your self, Bry. oke?” ucapku
sambil melirik novel yang sedang dipegangnya. Bryan hanya tertawa sambil berkata,
“Iya iya, Chisel cantik. Aku hanya
ingin mencoba kebiasaan baru untuk membaca. Bantu ya?”
“Pasti, ganteng!” sahutku. Syukurlah,
terimakasih Tuhan Bryan mau mengerti. Sudah kubilang, dia pantas menjadi
kakakku karena sifat pengertiannya. Hahaha, and thanks to my prince, Shane.
***
Malam itu, tiba-tiba ada yang datang ke rumah ku.
“Dear, tolong buka pintunya ya.
Mom lagi sibuk, bibi juga lagi di dapur.” Perintah mom.
“Oke mom!” sahutku. Dengan langkah
ringan aku membuka pintu dan whaaaaaaaaat????
“Nicole? Ada apa?” Tanya ku. Dengan cepat dia berkata,
“Segera ganti baju dan ikut aku!”
Nah loh! Datang-datang seperti
polisi saja. Dengan cepat aku menuju kamar dan pamit pada mom. Syukutlah mom
mengizinkan.
“Hei, ada apa??” aku berteriak di
samping Nicole di dalam mobilnya.
“Shut up, please! Diam saja,
tenang, kamu tidak akan kusakiti!” ucapnya.
Ya Tuhan, semoga aku tidak
kenapa-napa.
***
Uppsss, ketauan deh Bryan
suka sama Chisel, tapi sayang yahh ditolak :( Tapi, apa yang dibilang Chisel ada benarnya juga kan?? :)
Terus, itu si Nicole kenapa the tiba-tiba
datang kayak hansip aja yak?? Mau dibawa kemana tuh si Chisel? Penasaran kan ? Part 10
menyusuuuuul ;)
Thanks before, Bella.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar