Westlife World

Westlife For Now and Forever

Westlife For Now and Forever

Rabu, 22 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 9*


#9

   Sengatan matahari siang itu bukan menjadi penyebab mengalirnya keringatku, namun aku mengalami panas-dingin mendadak karena mereka. Dua orang misterius yang memintaku menemui mereka, sekarang juga!
“Ms.Misery, wait!” tahan seseorang di belakangku. Sekejap aku mematung tanpa mengedipkan mata.
“Hari ini kita harus latihan secara full. Dua hari ke depan saya harus berangkat ke Canada untuk pertemuan guru musik se-dunia. Bagaimana?” tanyanya. Ternyata Miss Elizabeth! Huuffh, terus bagaimana dengan dua surat ini? Tik tuk tik tuk, arloji ku berdengung menyadarkan ku.
“B… baiklah, bersama Shane juga?”
“Tentu, atau mau sama Bryan?” goda Miss Elizabeth membuatku terkejut mendengarnya. Dia mengedipkan mata kepada ku untuk segera mencari Shane.

   “Maksudnya apa sama Bryan?” racau ku dalam hati. Tapi, bagaimana dengan kedua surat ini? Aku pun berbalik mengejar Ms. Elizabeth.
“Miss….. please wait!” teriakku di lorong kelas yang begitu sunyi. Dia menoleh ke arahku.
“Sorry, miss. Tapi bisakah beri waktu pada saya sekitar dua puluh menit lagi?” tanyaku memelas. Miss Elizabeth menaikkan alisnya, berpikir sebentar. Dia mengangguk sambil berkata, “Tapi jangan lupa, segera ke ruang musik!” peringat nya.
“Bersama Shane ya, jangan salah bawa orang!” tambahnya.  Aku mengangguk sambil tersenyum. Huffh syukurlah waktu ku masih ada untuk memikirkan nasib dua orang ini. God, help me please! Aku sudah sampai di ujung jalan, namun rasa resah telah muncul kembali. Aku harus ke arah kanan atau kiri? Ku lihat kaki ku menuju kiri, namun hatiku bilang ke arah kanan. C’mon, chisel…. Aku menengadah mencoba mencari ilham.
“Kanan… kiri… kanan… kiri… KANAN ATAU KIRI?????????????????????” akhirnya aku kesal dan berteriak hingga beberapa orang yang lewat melirikku aneh. Aku hanya cengar-cengir mirip orang bodoh yang tak mengerti jalan.

   “Hei, kamu kenapa, Shel?” Tanya Nicky yang lewat di depanku dengan wajah penasaran. Aku hanya menggelengkan kepala sambil jalan mondar-mandir. Baru hari ini, aku merasa bukan seperti diriku sendiri, sangat aneh!
Ada masalah? Mau aku bantuin gak? Mumpung jadwalku gak padet. Lumayan loh ditolongin sama orang ganteng!” oke Nicky mulai narsis. Sepertinya aku memang butuh bantuannya. Dengan pasrah, kuserahkan dua lembar kertas yang hampir koyak itu karena kuremas sangat kuat. Nicky mengambilnya dan membaca satu demi satu untaian kata yang tertera di situ. Terdengar kikikan Nicky sambil tersenyum. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyodorkan kedua kertas itu padaku kembali.
 “Sepertinya aku kenal dua tulisan ini.” Ujar Nicky. Nah loh! Jangan-jangan……..
“Ayo ikut aku!” Nicky menarik lenganku dengan perlahan. Dia menuju ke arah kiri sambil memberitahu ku agar menjaga suara. Jika tidak, terpaksa dia harus menempelkan isolasi hitam di mulutku! Huuueeeh!
   “Benar dugaanku, “ desis Nicky sambil merunduk di balik pohon beringin yang sudah tua. Sayangnya, hanya Nicky yang dapat melihat apa di depannya. Sedangkan aku hanya bisa melihat punggung nya karena terhalang oleh sebuah ranting yang cukup besar.
“Sebentar,” cegahnya. Huh! Gaya sok detektif-nya keluar lagi! Sudah hampir sepuluh menit Nicky mengacangiku. Baiklah, sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi! Tanpa sepengetahuan Nicky, aku melangkah ke arah yang berlawanan, entah mengapa hatiku terus berontak memaksaku berjalan ke arah kanan. Sekali lagi aku menoleh ke arah Nicky, masih dengan posisi yang sama membuatku semakin kesal melihatnya. Ketika aku sampai di taman yang berdekatan dengan lapangan bola kaki, keadaan terasa sangat sunyi.
“Akhirnya kamu datang juga, walau terlambat.” Ucap seseorang membelakangiku. Ketika dia berbalik, hanya setengah wajahnnya saja yang terlihat, sedangkan bagian hidung dan matanya tertutup sebuah topi jeans.
“Ka… kamu siapa? Ada urusan apa hingga menyuruhku menemuimu?” aku tergagap sangat ketakutan.  Namun masih tenggelam dalam kebisuan, lelaki itu duduk di sebuah kursi panjang tanpa menoleh sedikitpun ke arah ku.
“Duduklah dulu,” perintahnya. Pandangannya menyorot ke depan hingga membuatku mendelik. Sekilas kulihat senyum terukir di bibir tipisnya. SENYUMNYA! Mengapa tidak asing bagiku? Apakah dugaanku benar?

   Dia mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda berbentuk hati. Sontak aku sangat kaget! Surat itu…. surat itu sangat mirip dengan surat yang kuterima dua hari yang lalu.
“Su.. suurat itu?” gumam ku hingga membuatnya sedikit bergerak.
“Masih ingat?” tanyanya dingin. Jangan-jangan….
“Kamu benar, surat itu dari ku.” Ujarnya membuatku semakin penasaran. Aku hanya menggigit bibir.
“Lalu, kamu siapa?” tanyaku kembali hingga membuatnya tersenyum kembali.
“Baiklah, sebenarnya aku adalah ……”
 Pippp pipp! Oh sial! Sepertinya hpnya bunyi. Aku terus menatap wajahnya dengan seksama. Aku mencoba memperhatikannya, mungkin saja ada sesuatu yang bisa membuatku mengenalinya. Dia mengangkat telepon dan  menjauh dariku. Selesai menutup percakapannya tadi, tiba-tiba dia meminta maaf padaku.
“Maaf, maafkan aku. Sepertinya aku harus segera pergi, ada sesuatu yang penting yang harus kuselesaikan. Lain kali kita bertemu kembali.” Dengan terburu-buru dia melangkah. Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Di kejahuan, aku masih memperhatikannya. Tiba-tiba dia membuka topi, dan…..


   ”Hei! Dicariin ke mana aja sih? Aku kira kamu hilang, Shel!” kaget Nicky membuatku lemas. Aku hanya terkikik sambil mengajak Nicky kembali ke kelas.
“Jadi bagaimana?” tanyaku. Nicky hanya terdiam. Dia membuka mulut,
“Pergilah ke taman di sisi kiri tadi.” Serunya.
“Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, jika kamu ingin tahu, pergilah. Maaf Chisel.” Lanjutnya sambil meninggalkan ku. Tiba-tiba aku merasakan keanehan dari nya. Tidak seperti biasa, Nicky yang selalu terbuka. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Dengan agak ragu, aku berjalan menuju taman tadi. Sesampainya di sana, apa yang terjadi? Aku hampir pingsan! Tak percaya siapa yang sedang kulihat.
“Bry… Bryan?” ucapku hampir tak percaya. Bryan berbalik sambil tersenyum hangat.
Dia menyuruhku mendekat. Aku mengiyakan dengan gugup.
Ada apa?” tanyaku hati-hati.
“Kamu tahu, saat pertama kali aku melihatmu? Saat MOS dan aku marah atas keterlambatanmu. Saat itu aku ingin minta maaf dan terus terbayang wajah polosmu. Sayang, aku lupa namamu dan di mana kelasmu. Hingga waktu itu, saat aku menolongmu membawa buku ke ruangan guru dan di situlah ku tau namamu. Kamu tau apa yang kurasakan? Tiba-tiba saja aku tertarik padamu. Saat itu juga!” terang Bry. Astaga! Ya Tuhan, inikah yang namanya cinta?
“Chisela Misery, i know you are very surprised. But, before I'm late, i must admit, i love you so much. And were sent a letter that was me.” Lanjut Bryan. Aku hanya melongo, seolah aku tak mendengar apa-apa. Adakah yang bisa membangunkan ku sekarang? Tolong sadarkan aku jika ini hanya mimpi. Entah mengapa, aku… aku…. Ingin menangis. Adakah yang bisa mengartikan semua ini?
“With all my feelings, would you be my girlfriend?” ucap Bryan dengan agak tersedak. Kurasa aku adalah gadis yang mati rasa, mengapa aku tak terenyuh dengan kata-katanya? Apa Tuhan belum memberikan perasaanku padanya? Atau aku memang masih ‘ingusan’ seolah belum mengenal apa itu cinta? Ingin kugoreskan segenap perasaan pada Bry, tapi sulit. Selama ini aku mencoba untuk lebih dekat padanya namun selalu risih. Aku hanya menganggap nya sebatas teman dan kakak. Itu saja.

   “Bryan, seorang lelaki yang menjadi pujaan gadis. Semua yang kamu katakan, aku sangat menghargai. Tapi aku harus jujur, aku tidak bisa membohongi perasaan ku sendiri. Dengar Bry, entah mengapa, entah mengapa aku belum bisa menerima yang kamu ucapkan tadi. Aku masih bingung, aku belum bisa memutuskan.” Aku hampir menjatuhkan air mata tak sanggup mengucapkan kata-kata yang berarti ‘menolak’. Aku tau, dia sangat yakin dengan apa yang diucapkannya itu, namun harus kukatakan berapa kali? Aku belum mencintainya. Benar-benar kosong perasaan ku padanya. Maaf jika aku agak frontal.
“Baiklah, jika kamu belum bisa memutuskan, akan kutunggu sampai kamu siap. Oke?” Tanya Bryan dengan senyum agak terpaksa. Sejenak aku menatap mata birunya yang terang, aku mencoba mencari celah-celah rasa itu. Namun tetap tidak bisa!
“I.. iya, oh waktuku hampir habis. Aku harus segera latihan untuk festival, bye Bryan. Have a great day.” Aku meninggalkannya sembari mencoba tersenyum.
“I did not know, why my feelings have not been there for you, Bryan.” Gumamku.
***
   “Wajahmu suntuk sekali?” Tanya Shane ketika aku sampai di ruang musik.
Ada masalah?” tanyanya lagi. Aku hanya diam sambil melangkah ke arah sebuah piano kalsik yang masih sangat bagus. Shane hanya menatapku dengan aneh.
“Tidak seperti biasanya yang selalu ceria.” Gumamnya. Aku menekan-nekan tuts piano dengan sembarang hingga terdengar alunan aneh yang mengganggu pendengaran.
“Hei, jika ada masalah, bisa cerita padaku.” Tawar Shane sambil menutup telinganya. Baiklah, aku menghentikan permainan ‘gila’ ini. Shane mencoba duduk di sampingku.
Ada apa?” tanyanya kembali. Aku masih menunduk mencoba menghindar dari tatapan Shane.
“Jika terus begini, sampai kapan kita mau latihan? Mau melihat Ms.Elizabeth kecewa?” ucapnya yang berhasil menyadarkan ku. Aku menyerah, aku mulai membuka mulut pada Shane,
“Sebenarnya, tadi aku…… aku ditembak Bryan.” Ucapku. Sontak Shane terlihat kaget. Aku terengah melihatnya.
“lanjutkan,” kata Shane.
“Entah mengapa, aku sangat kaget. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku menyukainya. Aku tidak tega untuk menolak, namun aku juga tidak bisa menerimanya dengan kebohongan.” Jelas ku sejelas-jelasnya. Shane hanya diam lalu tersenyum sambil menatapku. Tiba-tiba senyumnya membuatku sedikit tenang. Entah apa artinya.                       
“Rasa cinta itu adalah karunia Tuhan. Siapa saja bebas untuk memberikan cinta untuk siapapun. Intinya kamu berhak untuk mencintai atau tidak. Jangan pernah paksa perasaan jika memang belum ada. Kurasa, Bryan akan mengerti walau dengan proses yang lama.” Nasihat Shane yang membuatku terenyuh.
“Terimakasih untuk nasihatnya ya, Shane.” Aku tersenyum padanya seperti biasa. Shane hanya mengangguk.
“Siap untuk latihan, putri?” candanya.
“Putri? Haha, ayoo pangeran!” Shane sedikit merona ketika kubilang ‘prince’ hahaha!

   Shane mengambil microphone nya, sedangkan aku sudah mengambil tempat di depan piano. Kami sudah memilih satu lagu yang cocok untuk festival nanti. Tapi, masih dirahasiakan ya. Hahaha. Mula-mula kami berdua harus mencocokkan satu sama lain, mulai dari bentuk suara Shane dan bunyi tuts piano nya. Dengan sabar Shane terus menyemangatiku walau jari sudah agak keram. Satu kali, dua kali, sampai sepuluh kali pun dan akhirnya kami bisa latihan secara lega. Jreeeenggg!! Bunyi tadi mengakhiri latihan hari ini.
Proook prookk prokk! Tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang di depan pintu masuk.
“Amazing! Saya rasa saya akan tenang ketika di Canada nanti. Kalian berdua sudah cukup mandiri hingga memulainya tanpa menunggu saya terlalu lama. Lagu yang kalian pilih sangat menyentuh hati dan saya suka. Dengan ini, saya yakin kalian akan membanggakan sekolah. Silahkan istirahat. Teruslah berlatih hingga hari H nanti.” Pesan Ms.Elizabeth sambil tersenyum lebar.
“Thanks Miss!” serentak kami berdua ucapkan. Lalu shane mengajakku ke kantin untuk membeli minuman karena dehidrasi sudah meningkat.

   “Besok latihan lagi ya?” Tanya ku. Shane hanya mengangguk sambil meneguk dua liter susu kesukaannya.
“Kamu maniak susu ya? Dua liter loh!” celetuk ku.
“Iya, hehe..” sahut Shane. Aku pamit duluan ke Shane untuk segera balik ke kelas.
***
*Dua Hari Kemudian*

   Dengan yakin, aku melangkah ke kelas Bryan. Aku mencoba menyakan pada Kian yang kebetulan sedang berada di pintu kelas.
Bryan? Oh dia sedang baca buku tuh di dalam.” Ucap Kian sambil memperhatikan ku. Aku beterimakasih padanya dan dengan perlahan menghampiri Bryan.
“Bry?” panggilku pelan. Bryan memunculkan wajahnya yang tenggelam dalam sebuah novel tebal.
“Tumben baca novel, katanya tidak suka?” Tanya ku.
“Memangnya tidak boleh? Ada apa ke sini?” Tanya Bryan mulai dingin. Aku sudah memaklumkannya karena itu wajar. Bry pasti kecewa. Aku menarik lengannya dan mengajaknya ke taman tempat tempat Bryan menembakku.
Bryan aku mau jujur, tapi kamu jangan marah ya?” ucapku. Bryan hanya mengangguk sambil menatap pohon beringin tua itu.
“Bry, aku sangat sangat menghargai perasaanmu. Demi Tuhan, aku sangat menghargai. Tapi, aku tidak mau kamu tersiksa dalam kepalsuan cinta. Maafkan aku Bry. aku sudah menganggapmu sebagai teman dan kakak. Tidak lebih. Entah mengapa, cinta itu belum tumbuh di hatiku. Maaf Bry, aku tidak mau membohongimu dan diriku sendiri.” Aku mulai menangis. Aku sangat menyesal mengatakannya tapi aku memang harus jujur padanya. Aku mencoba menatap Bryan dengan sungguh-sungguh.

   “Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Cukup jadi teman saja tak apa-apa.” Ucap Bry lemas.
“Bry, bolehkah aku memelukmu?” tanyaku mencoba menghiburnya. Tiba-tiba Bryan tersenyum dan mengangguk. Aku langsung memeluknya dengan agak payah. Bryan tinggi sih!
“Be your self, Bry. oke?” ucapku sambil melirik novel yang sedang dipegangnya. Bryan hanya tertawa sambil berkata,
“Iya iya, Chisel cantik. Aku hanya ingin mencoba kebiasaan baru untuk membaca. Bantu ya?”
“Pasti, ganteng!” sahutku. Syukurlah, terimakasih Tuhan Bryan mau mengerti. Sudah kubilang, dia pantas menjadi kakakku karena sifat pengertiannya. Hahaha, and thanks to my prince, Shane.
***

   Malam itu, tiba-tiba ada yang datang ke rumah ku.
“Dear, tolong buka pintunya ya. Mom lagi sibuk, bibi juga lagi di dapur.” Perintah mom.
“Oke mom!” sahutku. Dengan langkah ringan aku membuka pintu dan whaaaaaaaaat????
“Nicole? Ada apa?” Tanya ku. Dengan cepat dia berkata,
“Segera ganti baju dan ikut aku!”
Nah loh! Datang-datang seperti polisi saja. Dengan cepat aku menuju kamar dan pamit pada mom. Syukutlah mom mengizinkan.
“Hei, ada apa??” aku berteriak di samping Nicole di dalam mobilnya.
“Shut up, please! Diam saja, tenang, kamu tidak akan kusakiti!” ucapnya.
Ya Tuhan, semoga aku tidak kenapa-napa.
***
 Uppsss, ketauan deh Bryan suka sama Chisel, tapi sayang yahh ditolak :( Tapi, apa yang dibilang Chisel ada benarnya juga kan?? :)
Terus, itu si Nicole kenapa the tiba-tiba datang kayak hansip aja yak?? Mau dibawa kemana tuh si Chisel? Penasaran kan? Part 10 menyusuuuuul ;)
Thanks before, Bella.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar