Westlife World

Westlife For Now and Forever

Westlife For Now and Forever

Rabu, 08 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 7*


#7

   Ketika aku dan Shane berjalan beriringan menuju ruang Ms.Elizabeth, tiba-tiba seseorang melompat menghadang seperti ninja Hatori kesasar.
“Eittsss!! Mau ke mana? berduaan ni yeee..” godanya. Ternyata Nicky! Aahh, Nicky, kau membuat pipiku berhasil merah merona! Aku dan Shane hanya cekikikan melihat kelakuan Nicky.
“Nick, kamu tau gak perbedaan kamu sama topeng monyet?” Tanya Shane memulai jurus gombalannya yang menjebak. Hehehe… Nicky memutar bola matanya dan menggelengkan kepala pertanda tidak tau. “Yang pasti mah, gue ganteng gila! Jauh cucok dari si monyet nya! :p” ucap Nicky dalam hati. Shane tersenyum misterius sambil berkata, “ENGGAK ADA BEDANYA! Udah awas, kita berdua mau lewat. Mending gue gombal ama Chisel dari pada sama lu.” Tidak kusangka sebelumnya Shane akan berbicara seperti itu sehingga berhasil membuat Nicky memanyunkan bibirnya sambil menopang dagu. HAHAHA!!!!! Kocaak!! Kalau enggak ingat ada mereka nih, pasti aku sudah jungkir balik di tempat! Ternyata Nicky terlihat sangat imut jika sedang ngambek. Shane menraik lembut lenganku seolah bukan dia namun genggaman mom.

 @Elizabeth Room

   Kuperhatikan seluruh bagian ruangan ini. Ruangan yang nyaman berwarna ungu muda dengan suasana ala Eropa. Di sisi kiri, terpajang beberapa foto. Salah satunya, tergantung foto seorang gadis muda yang kurasa itu adalah Ms.Elizabeth waktu remaja. Di sisi seberang, berbaris beberapa mini cupboard dengan sangat rapi. Namun dari segala isi ruangan yang ada, sebuah benda yang terletak paling sudut sisi ruangan berhasil menyita perhatianku sejenak. Benda berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Di sampingnya, terdapat lembaran-lembaran not lagu yang kurasa ‘not easy!’
 
   “Ehm..” seorang wanita jangkung mengenakan blazer ungu tua berjalan perlahan menuju kursi ruangan.
“Itu Ms.Elizabeth.” bisik Shane. Ternyata foto seorang gadis yang kulihat tadi berbeda dengan wanita itu. Tetapi, jika diperhatikan lebih dalam, ada sebuah kemiripan di antara mereka berdua. Ya! Senyumnya! Wanita itu tiba-tiba saja tersenyum sambil mempersilahkan kami untuk duduk di sofa berwarna hijau toska.
“Are you Chisela Misery?” tanyanya memecah keheningan suasana yang sedikit dibisingkan suara seekor kucing Persia yang mungkin miliknya.
“Yes, miss.” Aku sedikit tergagap. Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Entah apa yang membuatnya senang sekali tersenyum.
“Baiklah, sebelumnya perkenalkan, nama saya Elizabeth Fawn Grumble. Saya seorang guru musik kamu nanti jika sudah menapaki grade XII.” Ucap wanita itu. Oooh, jadi benar dia yang bernama Elizabeth. Dinginnya ruangan ditambah turunnya rintikan hujan membuatku menggigil sehingga Shane memberikan sweaternya padaku.
“Err, tidak perlu.” Tolakku mendelik.
“Atau yang tebal?”
Baiklah, aku kalah. Akhirnya aku mengambil sweater dan memakainya walau sedikit terpaksa. Ah, beruntung sweaternya ini tidak terlalu besar untukku. Hanya sedikit gombreng pada bagian lengannya.

   “Minggu depan, sekolah kita mengadakan festival seni antar SMA. Sebagai guru musik, festival kali ini saya ingin menambahkan beberapa penampilan yang berbeda dari biasanya. Saya memanggil kalian berdua berharap kalian bisa berkolaborasi suara ataupun musik. Saya harap, Ms.Misery dapat memanfaatkan kemampuannya dalam acara ini.”
Seperti mendengar dentuman meriam di kutub utara, dengan refleks aku berteriak,
“Dengan benda yang di sudut sana?” tunjukku mengarah benda di sudut ruangan. Shane dan Ms. Elizabeth hanya tertawa kecil seolah aku sedang melihat seorang bayi yang memanjat tebing. Ms.Elizabeth mengangguk kecil. Looh, dari mana dia tau aku bisa bermain piano? Sedangkan aku tak pernah mengenalnya. Yang parahnya, mungkin permainanku macet-macet gara-gara aku jarang mengikuti les piano kembali. Kesibukan di sekolah berhasil mengalahkan hampir semua aktivitas ku sehari-hari. Sampai-sampai aku harus menahan keinginanku untuk menutup telinga ketika omelan mom menghujam atas kurangnya aku dalam membagi waktu, bahkan untuk keluarga sekalipun.
“Baik, kalian berdua silahkan kembali ke kelas. dan ingat Ms. Misery, besok sebelum pelajaran dimulai, temui saya di ruangan ini.” Aku mengangguk menyanggupi permintaan Ms. Elizabeth.
***

   “Apa aku bermimpi? Ini festival sedangkan aku masih anak ingusan!” lirihku. Aku masih tak yakin, sepetinya Ms. Elizabeth salah memilih pasangan untuk Shane.
“Jika kamu yakin, pasti bisa.” Ucap Shane memberiku motivasi. Aku berpikir mencoba mencerna dalam-dalam apa yang diucapkan Shane barusan. Aku mengggelengkan kepala, dan aku sadar aku sangat pesimis. Shane menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan secara perlahan.
“Look at me, please! Kamu tidak tampil sendirian. But, with me. And i sure, everything will be okay.” Entah mengapa seakan-akan mata Hazel Green-nya menusuk kecemasanku, meyakinkan keraguanku, membangkitkan kepercayaan diriku yang perlahan-lahan menghilang.
“Kurasa, kamu benar. Baiklah, aku akan berusaha semaksimal munkin. Lalu, apa rencana kita selanjutnya?” tanyaku sambil mengeluarkan dua bungkus permen gula. Au memberikan satunya pada Shane.
“Kita tunggu instruksi dari Ms.Elizabeth dulu. Aku tidak mau gegabah mengambil rencana. O iya, masih ingat jalan untuk kembali ke kelas?” goda Shane sambil membuka bungkus permen gula yang kuberi padanya tadi. Haish! Dia kira aku seumuran apa sama nenek dip anti jompo itu??! aku mengangguk meyakinkannya.
“Tentu saja, baiklah aku duluan ke kelas ya. Bye.” Aku berbelok kea rah kanan koridor kelas. Terakhir kuperhatikan Shane belum beranjak dari tempatnya berdiri seolah memastikan aku tidak tersasar.

   Saat aku sedang melewati taman, seorang gadis berbalut syal pink tua duduk sendirian. Aku ingin menyapanya, namun nuraniku menolak.
“Emm, hi, are you fine?” sapaku memastikan keadaanya. Dia menoleh, sementara aku kaget tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Nicole. Tampak matanya sembab, kantung matanya membengkak menghitam, dan tisu sudah bececeran di lantai.
“Nicole, apa yang terjadi?” segera kuambil sapu tangan milikku di dalam kantung seragamku. Syukurlah, dia tidak lagi menangis. Namun sesekali sesegukannya masih terdengar.
“Nicole, dengarlah, walaupun kamu menganggapku tidak acuh, namun aku masih tetap ada untuk mendengar keluh kesahmu. Di manapun dan kapanpun. Aku selalu siap.” Jelasku, semoga apa yang kukatakan barusan dapat memperbaiki keadaan secara perlahan. Nicole menghadapkan wajahnya ke arahku. Namun hanya untuk mengembalikan sapu tangan yang kupinjamkan untuknya. Lalu, dia pergi begitu saja. Kurasa, dia perlu waktu untuk sendiri, merenungi masalah yang hanya salah paham saja. Tuhan, ku harap pertolonganmu segera datang. Aku segera kembali ke kelas sebelum terlambat masuk pelajaran Mr. Patrick. Semoga Nicole sudah berada di kelas.
***

   @Break Time

   Kulihat Mark, Nicky, Bryan dan Shane sedang berkumpul bersama di perpustakaan. Seperti yang kuduga, yang serius untuk membaca hanya Shane dan Mark saja. Sementara Nicky dan Bryan asyik menggossip dengan cara yang aneh! Berbisik! Strange men!
“Mark!” panggilku sepelan mungkin sehingga tidak membuat petugas marah. Mark yang sedang tenggelam dalam buku biologinya mengangkat setengah wajahnya yang tertutup buku. Kuhampiri Mark yang sedang membaca sambil berdiri tak jauh dari posisi Shane berada.
“Mark, kamu harus tau hal ini. Emm, tadi aku melihat Nicole menangis di taman sekolah. Aku sudah berusaha menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun Nicole masih bersikap dingin. Tolonglah, dan kurasa ini kesempatan terbaikmu untuk mendekatinya. Cobalah ke kelas nya, temui dia. Sebelum itu, kamu harus membawa coklat kesukaannya. Seingatku dia suka banget sama coklat ‘Godiva’ yang waktu itu dibeli pamannya di Belgia.” Jelasku sejelas-jelas mungkin. Mark hanya diam sambil berpikir. Sudah kuduga pasti dia akan mengatakan sesuatu, “Beliin coklatnya mah aku sanggup, cuma di mana??”
Iya juga sih ya, Belgia mah kejauhan belinya! Sedangkan kita di London.


   “I know where we can buy that chocolate!” tiba-tiba Bryan menyeletuk. Ya ampun! Ternyata Bryan dan Nicky dari tadi nguping pembicaraan kami! Mark mengangangkat alisnya. Setelah Bry menjelaskan di mana kami bisa mendapatkan coklat itu, kami sepakat untuk pergi bersam-sama. Hari ini juga! Demi Nicole!
***
*Esok hari*

   Sebelum Nicole datang, aku memastikan coklat itu sudah ada di laci nya. Oh Mark, you’re so sweet! Hahaha…. Pakai surat-suratan segala lagi! Tapi , it’s no problem! Hitung-hitung Pedekate, wkwkwkw.

   “Bagaimana? Berhasil? Atau malah dikacangin?” aku terburu-buru mencoba menimbangi jalannya Mark yang sangat cepat. Tiba-tiba dia berhenti lalu menghadap wajahku yang tingginya hanya sebahu Mark.
“Thanks, Chisel! Atas bantuanmu, aku bisa mengajaknya dinner malam ini! Dia meman butuh teman, mungkin selain kamu. Maaf, bukan maksud menyinggung. Masalahnya sekarang, dia masih bingung untuk meminta maaf padamu. Tapi belum ada waktu yang tepat.” Mark mencoba mengatur napasnya karena sangat gembira nya. Baiklah, aku juga senang mendengarnya. Jadi tidak usah repot-repot untuk mendekatkan Mark pada Nicole.

   “Beruntung sekali Nicole bisa diajak dinner sama cowok ganteng. Mancung lagi!” ocehku sendirian berjalan menuju gerbang sekolah. Dari belakang seseorang mengejutkanku sehingga aku hampir terjatuh ke arah depan.
“Pulang bareng yuuk??” tawarnya, yang tak lain dan tak bukan adalah Bryan. Saat ini Bry kuanggap sebagai sahabat keduaku selain Nicole. Dia juga kuanggap sebagai kakak angkatku. Sikapnya yang humoris kadang membuat hariku menjadi jauh dari rasa jenuh. “Baiklah, tapi gratis kan?” candaku sehingga membuatnya terpingkal-pingkal.
“Apa sih yang enggak buat tuan putri?” gombalnya membuatku ingin muntah. Jujur ya, sebenarnya aku tidak suka digombalin apalgi dirayu-rayu paksa! Hahaha!! Dia menyuruhku menunggu sebentar karena harus mengeluarkan mobilnya dahulu. Ketika aku hendak duduk di halte bus, seorang cowok menhampiriku dengan senyumnya yang, ah, sangat manis!
“Emm, pulang bareng yuk?” ajaknya. Aduhh, kenapa sih selalu saja di saat yang tidak sangat tepat?
“Maaf ya Shane, bukannya aku menolak tapi aku sudah mengiyakan ajakan Bryan lebih awal.” Entah mengapa aku sangat tidak enak hati pada Shane. Seandainya Shane lebih dulu dari Bry… Tiin tiiin!! Bunyi klakson dan deru mobil Bry terdengar menyuruhku segra masuk ke mobil. Aku segera pamit pada Shane sambil meminta maaf untuk yang kesekian kalinya. Ketika aku melihat Shane di balik kaca jendela mobil, dia segera bergegas pergi dengan wajah sedikit kecewa.
***

Wah wah wah!! Banyak banget konflik nya ya?? Mulai dari Nicole sampai Chisel pun ada. Tapi itu si Nicole enak banget ya diajak dinner sama Mark :3 itu si Shane kenapa lagi masang wajah murung ketika Chisel tidak bisa menerima ajakkanya dengan alasan yang jelas?? Bingung kan?? Ikutin terus ya ceritanya, part 8 menyusuuul, babay!! ;)

Thanks before, Bella. 

3 komentar:

  1. waaah..... pengennn Diajak dinner sma Mark,, panjangin dikit Lagi dhe

    BalasHapus
  2. keren .. :D mark aku juga mau dong,, ngga usah dinner deh,, lunch aja deh yuk maree

    BalasHapus
  3. huahhh.. Marky.. Lia jealous lohh.. :3

    BalasHapus