#7
Ketika aku
dan Shane berjalan beriringan menuju ruang Ms.Elizabeth, tiba-tiba seseorang
melompat menghadang seperti ninja Hatori kesasar.
“Eittsss!! Mau ke mana? berduaan
ni yeee..” godanya. Ternyata Nicky! Aahh, Nicky, kau membuat pipiku berhasil
merah merona! Aku dan Shane hanya cekikikan melihat kelakuan Nicky.
“Nick, kamu tau gak perbedaan
kamu sama topeng monyet?” Tanya Shane memulai jurus gombalannya yang menjebak.
Hehehe… Nicky memutar bola matanya dan menggelengkan kepala pertanda tidak tau.
“Yang pasti mah, gue ganteng gila! Jauh cucok dari si monyet nya! :p” ucap
Nicky dalam hati. Shane tersenyum misterius sambil berkata, “ENGGAK ADA
BEDANYA! Udah awas, kita berdua mau lewat. Mending gue gombal ama Chisel dari
pada sama lu.” Tidak kusangka sebelumnya Shane akan berbicara seperti itu
sehingga berhasil membuat Nicky memanyunkan bibirnya sambil menopang dagu.
HAHAHA!!!!! Kocaak!! Kalau enggak ingat ada mereka nih, pasti aku sudah jungkir
balik di tempat! Ternyata Nicky terlihat sangat imut jika sedang ngambek. Shane
menraik lembut lenganku seolah bukan dia namun genggaman mom.
@Elizabeth
Room
Kuperhatikan seluruh bagian ruangan ini. Ruangan yang nyaman berwarna
ungu muda dengan suasana ala Eropa. Di sisi kiri, terpajang beberapa foto.
Salah satunya, tergantung foto seorang gadis muda yang kurasa itu adalah
Ms.Elizabeth waktu remaja. Di sisi seberang, berbaris beberapa mini cupboard
dengan sangat rapi. Namun dari segala isi ruangan yang ada, sebuah benda yang
terletak paling sudut sisi ruangan berhasil menyita perhatianku sejenak. Benda
berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Di sampingnya, terdapat
lembaran-lembaran not lagu yang kurasa ‘not easy!’
“Ehm..” seorang wanita jangkung mengenakan blazer ungu tua berjalan
perlahan menuju kursi ruangan.
“Itu Ms.Elizabeth.” bisik Shane.
Ternyata foto seorang gadis yang kulihat tadi berbeda dengan wanita itu.
Tetapi, jika diperhatikan lebih dalam, ada sebuah kemiripan di antara mereka
berdua. Ya! Senyumnya! Wanita itu tiba-tiba saja tersenyum sambil
mempersilahkan kami untuk duduk di sofa berwarna hijau toska.
“Are you Chisela Misery?”
tanyanya memecah keheningan suasana yang sedikit dibisingkan suara seekor
kucing Persia
yang mungkin miliknya.
“Yes, miss. ” Aku sedikit tergagap. Lagi-lagi
wanita itu tersenyum. Entah apa yang membuatnya senang sekali tersenyum.
“Baiklah, sebelumnya perkenalkan,
nama saya Elizabeth Fawn Grumble. Saya seorang guru musik kamu nanti jika sudah
menapaki grade XII.” Ucap wanita itu. Oooh, jadi benar dia yang bernama Elizabeth . Dinginnya
ruangan ditambah turunnya rintikan hujan membuatku menggigil sehingga Shane
memberikan sweaternya padaku.
“Err, tidak perlu.” Tolakku mendelik.
“Atau yang tebal?”
Baiklah, aku kalah. Akhirnya aku
mengambil sweater dan memakainya walau sedikit terpaksa. Ah, beruntung
sweaternya ini tidak terlalu besar untukku. Hanya sedikit gombreng pada bagian
lengannya.
“Minggu depan, sekolah kita mengadakan festival seni antar SMA. Sebagai
guru musik, festival kali ini saya ingin menambahkan beberapa penampilan yang
berbeda dari biasanya. Saya memanggil kalian berdua berharap kalian bisa
berkolaborasi suara ataupun musik. Saya harap, Ms.Misery dapat memanfaatkan
kemampuannya dalam acara ini.”
Seperti mendengar dentuman meriam
di kutub utara, dengan refleks aku berteriak,
“Dengan benda yang di sudut sana ?” tunjukku mengarah
benda di sudut ruangan. Shane dan Ms. Elizabeth hanya tertawa kecil seolah aku
sedang melihat seorang bayi yang memanjat tebing. Ms.Elizabeth mengangguk
kecil. Looh, dari mana dia tau aku bisa bermain piano? Sedangkan aku tak pernah
mengenalnya. Yang parahnya, mungkin permainanku macet-macet gara-gara aku
jarang mengikuti les piano kembali. Kesibukan di sekolah berhasil mengalahkan
hampir semua aktivitas ku sehari-hari. Sampai-sampai aku harus menahan
keinginanku untuk menutup telinga ketika omelan mom menghujam atas kurangnya
aku dalam membagi waktu, bahkan untuk keluarga sekalipun.
“Baik, kalian berdua silahkan
kembali ke kelas. dan ingat Ms. Misery, besok sebelum pelajaran dimulai, temui
saya di ruangan ini.” Aku mengangguk menyanggupi permintaan Ms. Elizabeth.
***
“Apa aku bermimpi? Ini festival sedangkan aku masih anak ingusan!”
lirihku. Aku masih tak yakin, sepetinya Ms. Elizabeth salah memilih pasangan untuk Shane.
“Jika kamu yakin, pasti bisa.”
Ucap Shane memberiku motivasi. Aku berpikir mencoba mencerna dalam-dalam apa
yang diucapkan Shane barusan. Aku mengggelengkan kepala, dan aku sadar aku
sangat pesimis. Shane menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan secara
perlahan.
“Look at me, please! Kamu tidak
tampil sendirian. But, with me. And i sure, everything will be okay.” Entah
mengapa seakan-akan mata Hazel Green-nya menusuk kecemasanku, meyakinkan
keraguanku, membangkitkan kepercayaan diriku yang perlahan-lahan menghilang.
“Kurasa, kamu benar. Baiklah, aku
akan berusaha semaksimal munkin. Lalu, apa rencana kita selanjutnya?” tanyaku
sambil mengeluarkan dua bungkus permen gula. Au memberikan satunya pada Shane.
“Kita tunggu instruksi dari
Ms.Elizabeth dulu. Aku tidak mau gegabah mengambil rencana. O iya, masih ingat
jalan untuk kembali ke kelas?” goda Shane sambil membuka bungkus permen gula
yang kuberi padanya tadi. Haish! Dia kira aku seumuran apa sama nenek dip anti
jompo itu??! aku mengangguk meyakinkannya.
“Tentu saja, baiklah aku duluan
ke kelas ya. Bye.” Aku berbelok kea rah kanan koridor kelas. Terakhir
kuperhatikan Shane belum beranjak dari tempatnya berdiri seolah memastikan aku
tidak tersasar.
Saat aku sedang melewati taman, seorang gadis berbalut syal pink tua
duduk sendirian. Aku ingin menyapanya, namun nuraniku menolak.
“Emm, hi, are you fine?” sapaku
memastikan keadaanya. Dia menoleh, sementara aku kaget tidak percaya dengan apa
yang kulihat. Ternyata Nicole. Tampak matanya sembab, kantung matanya
membengkak menghitam, dan tisu sudah bececeran di lantai.
“Nicole, apa yang terjadi?”
segera kuambil sapu tangan milikku di dalam kantung seragamku. Syukurlah, dia
tidak lagi menangis. Namun sesekali sesegukannya masih terdengar.
“Nicole, dengarlah, walaupun kamu
menganggapku tidak acuh, namun aku masih tetap ada untuk mendengar keluh
kesahmu. Di manapun dan kapanpun. Aku selalu siap.” Jelasku, semoga apa yang
kukatakan barusan dapat memperbaiki keadaan secara perlahan. Nicole
menghadapkan wajahnya ke arahku. Namun hanya untuk mengembalikan sapu tangan
yang kupinjamkan untuknya. Lalu, dia pergi begitu saja. Kurasa, dia perlu waktu
untuk sendiri, merenungi masalah yang hanya salah paham saja. Tuhan, ku harap
pertolonganmu segera datang. Aku segera kembali ke kelas sebelum terlambat
masuk pelajaran Mr. Patrick. Semoga Nicole sudah berada di kelas.
***
@Break Time
Kulihat Mark, Nicky, Bryan
dan Shane sedang berkumpul bersama di perpustakaan. Seperti yang kuduga, yang
serius untuk membaca hanya Shane dan Mark saja. Sementara Nicky dan Bryan asyik menggossip
dengan cara yang aneh! Berbisik! Strange men!
“Mark!” panggilku sepelan mungkin
sehingga tidak membuat petugas marah. Mark yang sedang tenggelam dalam buku
biologinya mengangkat setengah wajahnya yang tertutup buku. Kuhampiri Mark yang
sedang membaca sambil berdiri tak jauh dari posisi Shane berada.
“Mark, kamu harus tau hal ini. Emm,
tadi aku melihat Nicole menangis di taman sekolah. Aku sudah berusaha
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun Nicole masih bersikap dingin. Tolonglah,
dan kurasa ini kesempatan terbaikmu untuk mendekatinya. Cobalah ke kelas nya,
temui dia. Sebelum itu, kamu harus membawa coklat kesukaannya. Seingatku dia
suka banget sama coklat ‘Godiva’ yang waktu itu dibeli pamannya di
Belgia.” Jelasku sejelas-jelas mungkin. Mark hanya diam sambil berpikir. Sudah kuduga
pasti dia akan mengatakan sesuatu, “Beliin coklatnya mah aku sanggup, cuma di
mana??”
Iya juga sih ya, Belgia mah
kejauhan belinya! Sedangkan kita di London .
“I know where we can buy that chocolate!” tiba-tiba Bryan menyeletuk. Ya ampun! Ternyata Bryan
dan Nicky dari tadi nguping pembicaraan kami! Mark mengangangkat alisnya. Setelah
Bry menjelaskan di mana kami bisa mendapatkan coklat itu, kami sepakat untuk
pergi bersam-sama. Hari ini juga! Demi Nicole!
***
*Esok hari*
Sebelum Nicole datang, aku memastikan coklat itu sudah ada di laci nya. Oh
Mark, you’re so sweet! Hahaha…. Pakai surat-suratan segala lagi! Tapi , it’s no
problem! Hitung-hitung Pedekate, wkwkwkw.
“Bagaimana? Berhasil? Atau malah dikacangin?” aku terburu-buru mencoba
menimbangi jalannya Mark yang sangat cepat. Tiba-tiba dia berhenti lalu
menghadap wajahku yang tingginya hanya sebahu Mark.
“Thanks, Chisel! Atas bantuanmu,
aku bisa mengajaknya dinner malam ini! Dia meman butuh teman, mungkin selain
kamu. Maaf, bukan maksud menyinggung. Masalahnya sekarang, dia masih bingung
untuk meminta maaf padamu. Tapi belum ada waktu yang tepat.” Mark mencoba
mengatur napasnya karena sangat gembira nya. Baiklah, aku juga senang
mendengarnya. Jadi tidak usah repot-repot untuk mendekatkan Mark pada Nicole.
“Beruntung sekali Nicole bisa diajak dinner sama cowok ganteng. Mancung lagi!”
ocehku sendirian berjalan menuju gerbang sekolah. Dari belakang seseorang
mengejutkanku sehingga aku hampir terjatuh ke arah depan.
“Pulang bareng yuuk??” tawarnya,
yang tak lain dan tak bukan adalah Bryan .
Saat ini Bry kuanggap sebagai sahabat keduaku selain Nicole. Dia juga kuanggap
sebagai kakak angkatku. Sikapnya yang humoris kadang membuat hariku menjadi
jauh dari rasa jenuh. “Baiklah, tapi gratis kan ?” candaku sehingga membuatnya
terpingkal-pingkal.
“Apa sih yang enggak buat tuan putri?”
gombalnya membuatku ingin muntah. Jujur ya, sebenarnya aku tidak suka
digombalin apalgi dirayu-rayu paksa! Hahaha!! Dia menyuruhku menunggu sebentar
karena harus mengeluarkan mobilnya dahulu. Ketika aku hendak duduk di halte
bus, seorang cowok menhampiriku dengan senyumnya yang, ah, sangat manis!
“Emm, pulang bareng yuk?”
ajaknya. Aduhh, kenapa sih selalu saja di saat yang tidak sangat tepat?
“Maaf ya Shane, bukannya aku
menolak tapi aku sudah mengiyakan ajakan Bryan
lebih awal.” Entah mengapa aku sangat tidak enak hati pada Shane. Seandainya Shane
lebih dulu dari Bry… Tiin tiiin!! Bunyi klakson dan deru mobil Bry terdengar
menyuruhku segra masuk ke mobil. Aku segera pamit pada Shane sambil meminta
maaf untuk yang kesekian kalinya. Ketika aku melihat Shane di balik kaca
jendela mobil, dia segera bergegas pergi dengan wajah sedikit kecewa.
***
Wah wah wah!! Banyak banget
konflik nya ya?? Mulai dari Nicole sampai Chisel pun ada. Tapi itu si Nicole
enak banget ya diajak dinner sama Mark :3 itu si Shane kenapa lagi masang wajah
murung ketika Chisel tidak bisa menerima ajakkanya dengan alasan yang jelas?? Bingung
kan ?? Ikutin terus
ya ceritanya, part 8 menyusuuul, babay!! ;)
Thanks before, Bella.
waaah..... pengennn Diajak dinner sma Mark,, panjangin dikit Lagi dhe
BalasHapuskeren .. :D mark aku juga mau dong,, ngga usah dinner deh,, lunch aja deh yuk maree
BalasHapushuahhh.. Marky.. Lia jealous lohh.. :3
BalasHapus